HOLOPIS.COM, JAKARTA – Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Yusril Ihza Mahendra, mengatakan berdasarkan undang-undang Pemilu sekarang ini yakni UU Nomor 7 Tahun 2017, bahwa Presiden dan Wakil Presiden memang dibolehkan untuk berkampanye Pemilu, baik Pilpres maupun Pileg.
“Ketentuan Pasal 280 UU Pemilu merinci pejabat-pejabat negara yang tidak boleh kampanye, antara lain ; Ketua dan Para Hakim Agung, Ketua dan Para Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan seterusnya. Presiden dan Wakil Presiden serta para Menteri tidak termasuk dalam pejabat negara yang dilarang kampanye,” kata Yusril dalam keterangan persnya yang dikutip Holopis.com, Kamis (25/1).
Bahkan kata Yusril, di dalam Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu secara tegas menyatakan ; “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye”.
Kemudian di dalam Pasal 281 UU, mengatur syarat-syarat pejabat negara dan Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkampanye antara lain ; harus cuti di luar tanggungan negara dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
“Jadi Presiden dan Wakil Presiden boleh kampanye, baik mengampanyekan diri mereka sendiri kalau menjadi petahana, maupun mengampanyekan orang lain yang menjadi Capres dan Cawapres. Boleh juga kampanye untuk parpol peserta Pemilu tertentu,” terangnya.
Bagi Yusril, pasal-pasal tentang Presiden yang akan berkampanye itu juga mengatur pengamanan dan fasilitas kesehatan Presiden dan Wakil Presiden yang berkampanye. Ketentuan lebih lanjut bagi Presiden dan Wakil Presiden yang akan kampanye diatur oleh Peraturan KPU.
Lantas bagaimana dengan pemihakan?. Yusril juga menyatakan bahwa keberpihakan seorang Presiden terhadap kandidat tertentu juga dibolehkan. Sebab, kampanye jelas menyatakan keberpihakannya.
“Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu yang dikampanyekannya. Masa orang kampanye tidak memihak,” tukasnya.
Di dalam UU Pemilu, tidak ada diksi yang menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Menurutnya, keberpihakan Joko Widodo yang merupakan Presiden Republik Indonesia adalah bagian dari konsekuensi dari sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia, di mana tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45.
“Keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tidak bisa dibandingkan dengan Bung Karno dalam Pemilu 1955. Waktu itu kita menganut sistem Parlementer. Sebagai Kepala Negara, Bung Karno harus berdiri di atas semua golongan. Bung Karno tidak memikul tanggung jawab sebagai Kepala Pemerintahan yang ada pada Perdana Menteri Burhanudin Harahap waktu itu. Wapres Hatta juga mengambil sikap netral dalam Pemilu 1955,” papar Yusril.
Jadi kalau ada pihak-pihak yang menghendaki Presiden harus netral tidak boleh kampanye dan memihak, maka jabatan Presiden mestinya hanya 1 periode agar dia tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan kedua. Dan itu kata Yusril, memerlukan amandemen UUD 45.