HOLOPIS.COM, Di tengah pernyataan keras dari Kementerian Lingkungan Hidup dalam Kabinet Prabowo-Gibran yang menyatakan akan mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, publik layak bertanya: mengapa izin itu dulu bisa diberikan begitu saja? Dan jika aktivitas mereka kini terbukti melanggar UU tentang perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kenapa pelanggaran itu tidak dicegah sejak awal?.
Empat perusahaan—PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa—tercatat beroperasi di wilayah-wilayah yang secara ekologis sangat sensitif. Tiga di antaranya bahkan sempat mendapatkan izin resmi penggunaan kawasan hutan (PPKH) dari kementerian yang kala itu memegang otoritas pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup, masing-masing di dua periode pemerintahan yang berbeda. Jika publik membuka kembali dokumen resmi, tentu mudah mengidentifikasi siapa saja pejabat yang berwenang kala itu.
Logikanya tak rumit: jika saat ini Menteri Lingkungan Hidup menyatakan bahwa aktivitas tambang di pulau kecil melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014, maka bagaimana mungkin izin itu bisa diterbitkan saat aturan tersebut sudah berlaku? Bukankah semestinya instansi yang mengeluarkan izin kala itu tahu betul batas-batas hukum yang tak boleh diterobos?.
BACA JUGA
- Bahlil Ngaku Tata Kelola Alam Saat Ini Dinikmati Investor dan Pemerintah Pusat
- Bahlil Heran Indonesia Mau Kelola Alam Kok Banyak yang Ribut
- Pecabutan IUP 4 Perusahaan Tambang Bagian dari Penertiban Sejak Januari
- Haidar Alwi Usul Sistem Kesejahteraan Jadi Syarat Mutlak Izin Tambang
- FABEM Apresiasi Kebijakan Prabowo Cabut 4 IUP Perusahaan di Raja Ampat
Lebih dari sekadar kesalahan prosedural, ini adalah persoalan tanggung jawab publik. Ketika sebuah izin resmi keluar, artinya negara memberi restu atas sebuah aktivitas ekonomi. Namun jika kemudian hari diketahui bahwa aktivitas tersebut merusak lingkungan, maka yang dimintai pertanggungjawaban bukan hanya pelaku tambangnya, melainkan juga pemberi izinnya.
Kini, di era pemerintahan yang baru, kita menyaksikan sikap berbeda. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, dengan tegas, memilih berpihak pada amanah konstitusional dan integritas jabatan yang ia emban. Langkahnya untuk menghentikan, mengevaluasi, dan bahkan membuka opsi pencabutan izin tambang bukan hanya bentuk reaksi terhadap desakan publik—tetapi sekaligus penanda bahwa negara masih bisa bersikap adil terhadap alam.
Dalam suasana birokrasi yang kerap penuh kompromi, keberanian Menteri Hanif layak diapresiasi. Ia tidak mencari popularitas, tetapi menegakkan prinsip. Ia tidak terjebak pada narasi kontinuitas kebijakan semata, tetapi menempatkan masa depan ekologi sebagai prioritas. Di tengah pusaran investasi dan tekanan korporasi, keberpihakannya pada lingkungan adalah suara yang jarang, tapi dibutuhkan.
Namun demikian, langkah ini seharusnya tidak berhenti di permukaan. Audit menyeluruh atas semua izin tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil harus segera dilakukan. Lebih dari itu, perlu ada ruang reflektif untuk mengungkap siapa yang menerbitkan izin-izin tersebut, atas dasar apa, dan dengan pertimbangan apa. Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap kebijakan negara.
Karena jika kita gagal menelusuri akar persoalan, maka setiap rezim hanya akan menjadi pemadam kebakaran dari api yang mereka warisi—tanpa pernah mematikan sumber apinya.
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau. Ia adalah simbol kehormatan ekologis bangsa. Maka sudah sepatutnya, mereka yang dulu memberi jalan tambang masuk ke dalamnya, juga bersedia memberi penjelasan kepada publik.
