KPK menyebut kontrak yang diteken antara Pertamina dan CCL untuk pengadaan LNG itu bukan dengan mengikuti harga pasar, tetapi justru dengan menerapkan harga tetap (flat rate).
Selain itu, seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL dalam perjalanannya tidak terserap di pasar domestik. Alhasil, kargo LNG itu menjadi oversupply dan tidak pernah masuk wilayah Indonesia.
Sehingga kondisi kelebihan pasok itu harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh Pertamina. Diduga hal itu memicu kerugian keuangan negara sekitar US$140 juta atau setara dengan sekitar Rp 2,1 triliun.
Tim KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa waktu lalu telah berkunjung ke AS untuk pemenuhan pencarian bukti-bukti kasus LNG. Kunjungan itu di antaranya, yakni ke Blackstone dan CCL.
Pada kegiatan pencarian bukti itu BPK ikut serta lantaran adanya dugaan kerugian keuangan negara pada kasus LNG Pertamina itu. KPK mencari dokumen-dokumen terkait dengan transaksi jual-beli LNG antara Pertamina dan dua perusahaan di AS itu dari kunjungan tersebut.