Ambil Paksa Partai Demokrat, Moeldoko Hanya Tumbal
Oleh Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
JAKARTA, HOLOPIS.COM – Pengambilan alihan paksa Partai Demokrat lewat Kongres Luar Biasa (KLB) paling lucu dalam sejarah, membuat kita bertanya, sebodoh itukah Moeldoko? Istana diam dan tidak ada kata-kata, pikiran, empati dari presiden, presiden paket hemat, nggak bunyi membiarkan orang dalam istana bikin keributan di “rumah tangga” orang lain?
Pertama; Jika pengambil-alihan secara paksa partai Demokrat adalah ambisi pribadi Moeldoko yang katanya ingin maju sebagai calon presiden 2024 maka tindakan ini adalah kebodohan dan bunuh diri.
Bagaimana mungkin seorang Moeldoko yang sudah makan asam garam politik praktis mulai dari era SBY hingga dua periode kepemimpinan presiden Jokowi tidak paham karakter politik di Indonesia. Citra personal adalah kunci memenangkan hati rakyat. Sementara tindakan yang beliau lakukan hari ini telah menjerumuskan dirinya ke dalam lumpur kotor yang baunya amat busuk.
Langkah politik ini, memang seolah membuka jalan bagi ambisinya, namun jangan lupa secara bersamaan citra negatif juga mencoreng mukanya sendiri karena dianggap telah melakukan tindakan yang sangat memalukan, tidak bermoral, tak berakhlak dan tidak etis, mencoreng nama besar jenderal bintang 4 dalam sejarah Indonesia.
Jangankan untuk maju jadi calon presiden, Partai Demokrat akan tumbang bersamaan dengan citra pemimpinnya yang terlanjur negatif di mata publik. Jadi capres itu mimpi, kehancuran Demokrat di bawah kepemimpinan Moeldoko sudah di depan mata.
Kedua; Posisi Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) tindakan Moeldoko amat sangat mustahil tidak diketahui oleh pihak Istana. Apalagi AHY sebagai ketua umum partai demokrat sudah jauh hari sudah memberi sinyal dan mengingatkan akan keterlibatan Moeldoko dalam upaya pengambil alihan paksa (take over) yang kemudian memang benar-benar menjadi kenyataan.
Dengan membiarkan Moeldoko bikin “ribut” di partai Demorat menjadi indikasi kuat adanya keterlibatan Istana dalam persoalan ini. Sehingga memecat secara tidak hormat Moeldoko dari posisinya sebagai KSP harus dilakukan, mencoreng wajah presiden, beban Istana, karena beliau pejabat negara (inner circle istana). Itu saja tidak cukup, pemerintah menyakinkan tidak ada dualisme kepengurusan dan kepemimpinan, AHY ketua umum sah, dengan menolak memberikan legitimasi, menolak mengesahkan KLB ilegal karena tak ikut aturan AD/ART partai yang sudah didaftarkan pada lembar dokumen negara tahun 2020.
Dari rangkaian bentangan emperis indikasi tersebut, jika presiden tidak melakukan langkah apapun, tidak bunyi, menguat, mengkonfirmasi keterlibatan Istana adalah sebuah keniscayaan. Campur tangan semacam ini adalah ancaman serius bukan hanya bagi partai Demokrat tapi ini adalah lonceng kematian bagi demorasi kita.
Ketiga; jika poin kedua indikasinya semakin kuat, kita layak bertanya apa agenda Istana di balik semua ini?
Politik belah bambu yang menyasar partai oposisi adalah cara berpolitik yang tidak etis. Apalagi komposisi koalisi pemerintahan hari ini sudah terlalu gemuk, 6 dari 9 partai di parlemen dengan total 75% kursi sudah menjadi bagian dari koalisi pemerintahan, apakah ini belum cukup?
Dengan memecah belah partai oposisi lalu menenteng menjadi bagian dari partai koalisi pemerintah, maka DPR akan kembali ke masa suram menjadi “stempel” bagi kekuasaan, menjadi lembaga yes man (eksekutif heavy).
Oleh karena itu, kita juga layak bertanya dan patut curiga agenda apa yang sedang di desain pemerintah? Mungkinkah amandemen UUD 1945 terutama kaitannya dengan periode jabatan presiden yang mau ditambah menjadi 3 periode? Apapun agendanya kita layak curiga karena cara-cara culas sudah pasti tujuannya akan merugikan kita semua.
Dari tiga argumen utama di atas publik bisa mengambil kesimpulan sendiri kira-kira mana yang paling mungkin mendekati realitas politik. Apakah dengan langkah sembrono dan ugal-ugalan itu Moeldoko mau jadi calon presiden 2024? Atau beliau melakukan itu semua atas restu Istana dan Moeldoko hanya pion untuk memuluskan ambisi politik yang sedang berkuasa? Silahkan jawab sendiri.