JAKARTA – Pengelolaan dan pengembangan metropolitan di beberapa wilayah dinilai sudah sangat mendesak. Pasalnya, semakin marak perpindahan penduduk ke kota-kota besar, seperti Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Bandung, Palembang, Surabaya, Medan, Semarang, Banjarmasin, Denpasar, Makasar, dan Manado.
Demikian dikatakan Pelaksana harian (Plh) Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Adwil Kemendagri) Amran. Untuk diketahui, pemerintah saat ini telah menetapkan pengembangan 10 wilayah metropolitan prioritas yang masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN). 10 Wilayah Metropolitan tersebut memiliki tema pengembangannya masing-masing.
Diharapkan upaya ini dapat mengatasi isu-isu pengembangan wilayah yang tidak dapat tertangani secara sektoral, seperti kepentingan masing-masing pemerintah daerah (pemda), ketergantungan pada wilayah inti yang menjadi pusat bisnis dan pemerintahan, hingga tidak selarasnya rencana pembangunan.
Adapun wilayah metropolitan tersebut, antara lain, Mebidangro, Patungraya Agung, Jabodetabekpunjur, Cekungan Bandung, Kedungsepur, Gerbangkertosusila, Banjarbakula, Sarbagita, Bimindo, dan Mamminasata.
Dikatakan Amran, kota-kota besar tersebut mengalami permasalahan beban spasial seperti ‘over capacity’. Di mana daya tampung kota melebihi beban yang diterima.
Saat pusat kota tak lagi cukup menampung penduduk, harga hunian yang semakin mahal, dan juga dampak dari industri yang mulai mengalihkan kantor atau pabriknya ke wilayah sub pusat kota, menjadikan terjadinya perpindahan penduduk ke kota-kota satelit. Sebagai contoh di DKJ, sebagian besar pekerjanya merupakan penduduk yang tinggal di luar Jakarta, yaitu di wilayah Kota Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor.
“Sebagian besar masyarakat metropolitan ini bekerja di pusat kota sehingga untuk sampai ke tempat kerjanya harus bermacet-macetan dan mereka harus menghabiskan waktunya di jalan. Ini kerugian yang besar jika dirupiahkan. Lalu, ada yang bekerja di kantor dan pabrik di pusat kota. Kota satelit kerap kelimpungan dengan perkembangan yang cepat dan pesat karena belum bisa menyediakan fasilitas umum dan memberikan pelayanan publik yang baik,” ucap Amran dalam keteranganya, seperti dikutip Holopis.com, Kamis (19/12).
Lebih lanjut diungkapkan Amran, terdapat beberapa masalah klasik yang dihadapi wilayah metropolitan. Di antaranya, kemacetan, ketersediaan hunian yang layak, semakin berkurangnya ruang terbuka hijau, transportasi umum, penyediaan air bersih, dan pengelolaan sampah.
Amran menekankan, aspek tersebut perlu menjadi perhatian utama agar masyarakat yang tinggal di kota tersebut dapat hidup nyaman, sehat, dan sejahtera. Adapun upaya untuk menangani dampak dari perkembangan wilayah metropolitan ini sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2022 Tentang Perkotaan.
Namun, permasalahan yang kerap dihadapi dalam pengelolaan wilayah metropolitan ini adalah pemerintah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota kerap tak bersinergi dalam pengembangan kotanya.
Di mana masing-masing pemerintah daerah memiliki program dan kebijakannya sendiri tanpa melihat masalah, kebutuhan, dan solusi yang diperlukan ketika berada dalam satu wilayah aglomerasi.
“Dalam konteks Indonesia, pengelolaan kawasan metropolitan tidak dapat dilakukan secara independen. Pengelolaannya harus tetap berada dalam struktur pemerintahan yang ada. Pengelolaan ini melibatkan pemerintah pusat dan daerah. Intinya, koordinasi dan kerja sama yang baik dalam membangun kawasan metropolitan harus dilakukan antar pemda agar dapat maksimal dalam mencapai hasilnya,” ujar alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) itu.
Amran menegaskan, keberadaan metropolitan ini dapat mendorong pemerataan ekonomi dan pembangunan daerah. Menurut Amran, keselarasan program antar pemda dalam satu wilayah metropolitan dapat mengurangi permasalahan kemiskinan.
“Asalkan, semua masalah yang terjadi, seperti akses pendidikan sebagai modal penyediaan tenaga kerja dan transportasi umum terintegrasi, bisa ditangani dengan baik,” ungkapnya.
Pemda juga diingatkan untuk merancang tata ruang yang baik. Hunian mulai dirancang vertikal untuk menyiasati lahan yang semakin terbatas. Selain itu, pemda juga harus membangun ruang terbuka hijau sebagai tempat sosialisasi dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
“Untuk beberapa daerah satelit, harus bisa mempertahankan kawasan produktif, seperti pertanian dan perkebunan. Ini diperlukan untuk menopang kebutuhan wilayah metropolitan itu sendiri,” tutur Amran.
Pemerintah juga dapat melihat best practice pengelolaan kawasan metropolitan dari negara lain seperti Greater Capital City Statiscal Area Australia, Metropolis Tokyo, dan Metropolitan Seoul Area, dalam pengembangan metropolitan.
“Tidak harus mencontoh sama persis karena ada beberapa perbedaan situasi, demografi, dan lainnya. Kita coba melihat mana yang mungkin diterapkan di sini,” tandas Amran.