HOLOPIS.COM, JAKARTA – Juru bicara Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Suparman Marzuki mengatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki dasar untuk mengadili pelanggaran Pemilihan Umum (Pemilu). Termasuk, terhadap pelanggaran azas dan prosedur dari Pemilu yang disengketakan.
“MK bisa mendasarkan kewenangannya memeriksa, mengadili dan memutus perkara aquo dan bisa melakukan penemuan hukum berdasar Pasal 22 E (1) dan 24 C (1) UUD 1945,” kata Suparman, Sabtu (30/3) seperti dikutip Holopis.com.
Terkait dasar-dasar itu, Suparman menerangkan antara lain ; ada Pasal 470 ayat (1,2) UU Pemilu yang dijadikan dasar oleh termohon dan ini untuk menyatakan bahwa sengketa proses menjadi wewenang Bawaslu jelas dan terang benderang keliru.
Sebab, ia menekankan, sengketa proses yang dimaksud pasal aquo adalah proses tidak lolos verifikasi sebagai calon peserta pemilu atau dicoret dari daftar calon peserta pemilu. Sengketanya sendiri dibawa ke TUN (Putusan KPU).
Bunyi Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 :
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.
Penjelasan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 :
Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Jadi, bukan seperti yang dimohonkan 01 dan 03 yaitu pelanggaran terhadap azas dan prosedur-prosedur pemilu oleh pemerintah (Presiden),” ujar Suparman yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial RI tersebut.
Lalu, Pasal 475 yang mengatur wewenang MK terhadap perselisihan perolehan suara. Jadi, gugatan 01 dan 03 atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah (Presiden) terhadap pemilu yang melanggar asas dan prosedur tidak diatur dalam UU Pemilu.
Bunyi pasal Pasal 475 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu :
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
(3) Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi.
(4) KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
(5) Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Presiden;
c. KPU;
d. Pasangan Calon; dan
e. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan calon.
“Dan itu menjadi kewenangan MK, bukan institusi negara yang lain,” kata Suparman.