HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menyesalkan negara melalui instrumen pemerintah melakukan perampasan hak atas tanah dari rakyat dengan dalih kepentingan investasi.

Hal ini disampaikan di tengah acara puncak peringatan Hari Tani Nasional (HTN) yang digelar dalam konsep panggung rakyat di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Gambir, Jakarta Pusat.

Kartika menukil salah satu kasus agraria yang dimaksud, yakni kasus tanah rakyat Melayu di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Menurutnya, dengan dalih investasi dan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City, masyarakat asli sana diminta untuk mangkat kaki dari tanah mereka sendiri.

“Di Pulau Rempang, tanah nelayan, tanah petani dan tanah masyarakat adat diklaim dan dinyatakan menjadi hak pengelola BP Batam. Padahal, masyarakat Batam sudah menduduki tanah tersebut sebelum Indonesia merdeka,” kata Dewi Kartika dalam aksinya bersama Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) seperti dikutip Holopis.com, Selasa (26/9).

Ia menyayangkan mengapa negara selalu mengambil porsi yang lebih kuat untuk mengurus rakyat. Mengapa tidak dilakukan dialog dalam rangka tetap memastikan hak-hak atas pengelolaan tanah kepada masyarakat untuk menjalankan misi reforma agraria.

“Sejak Rempang Eco City ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional, tanah rakyat dirampas,” sambungnya.

Secara catatan refleksinya, Dewi menuding bahwa pemerintahan Indonesia sejauh ini semakin hari semakin tidak berpihak kepada masyarakat dan cenderung mengedepankan otoritarianisme.

“Di masa reformasi, di alam demokrasi ini, ternyata pemerintahan kita semakin otoriter. TNI, Polri, Satpol PP, bukan melindungi rakyat tapi malah melakukan cara-cara represif dan mengintimidasi untuk paksakan Proyek Strategis Nasional di seluruh Indonesia,” tukasnya.

Akibat dari sikap pemerintah dalam menyikapi konflik dengan masyarakat inilah yang mengakibatkan banyak rakyat Indonesia justru berada dalam posisi sebagai korban.

“Ratusan petani dan masyarakat adat ditangkap, banyak nelayan dikriminalisasi dan diitimidasi, aktivis rakyat dikriminalisasi karena membela hak-hak petani. Apakah ini reforma agraria?,” tandas Dewi.

Oleh sebab itu, Dewi Kartika pun menekankan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk benar-benar bisa menjalankan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

“Berikan hak kepemilikan atas tanah yang sudah dikelola oleh rakyat dan melaksanakan reforma agraria sejati,” tuntut Dewi kepada pemerintah.

Selain itu, Dewi juga menyerukan kepada seluruh kaum buruh, pekerja, petani, nelayan dan masyarakat lainnya untuk ikut bersama-sama mendoronga gar Undang-Undang Agraria bisa segera direvisi untuk perbaikan kepentingan rakyat.

“RUU Reforma Agraria terus kita dorong untuk melawan UU omnibus law, ini adalah benteng terakhir perlindungan para petani dan nelayan kita,” tegasnya.

Terakhir, ia juga mengajak semua stakeholders untuk terus memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat secara nasional, khususnya terkait dengan proyek perampasan tanah rakyat oleh pemerintah dan korporasi.

“Hanya nasib kita bisa ubah dengan perjuangan sendiri. Kita tidak bisa percaya pada penguasa yang dzalim. Perjuangan hak-hak rakyat adalah yang utama,” pungkasnya.

Aksi unjuk rasa peringatan Hari Tani Nasional 2023 tersebut diikuti sejumlah elemen masyarakat, antara lain ; KASBI, Serikat Buruh Merdeka Indonesia (SBMI), Serikat Petani Pasundan (SPP), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB), Federasi Serikat Pekerja (FSPEK) KASBI, Paguyuban Petani Cianjur (PPC), Pergerakan Petani Banten (P2B), Serikat Petani Majalengka (SPM), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Serikat Petani Mandiri.

Kemudian, ada juga Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Tani Independen Pemalang (STIP), Serikat Nelayan Indonesia dan sejumlah mahasiswa kampus, seperti ; Mahasiswa dari Universitas Budi Luhur, Mahasiswa dari Universitas Bung Karno (UBK) dan Komisariat GMNI Jakarta Selatan, serta masih banyak lagi yang lainnya.