Berita Holopis HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan surat keterangan waris (SKW), Kusumayati mendapat sorotan.

Kongres Advokat Indonesia (KAI) mendesak JPU tidak menjadi penghambat dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan tersebut.

Ketua Dewan Penasihat KAI, Erman Umar mengingatkan jaksa agar tidak menjadi penghambat dengan terus menerus menunda proses persidangan yang sudah masuk tahap penuntutan.

Desakan ini dianggap diperlukan karena diketahui hingga saat ini pihak jaksa penuntut umum terus memaksa pihak korban untuk menempuh langkah restorative justice yang tidak ada kesepakatan kedua belah pihak.

“Sidang jangan sampai menjadi molor terus. Sehingga ini membuat tidak ada kepastian hukum,” kata Erman Umar dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (3/10).

Erman Umar yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Advokat Untuk Keadilan dan Demokrasi (Fatkadem) ini kemudian meningatkan, restorative justice tidak akan bisa menghilangkan pidana yang dilakukan oleh seseorang apalagi terdakwa.

“RJ itu tidak pernah bisa menghilangkan pidana yang telah terjadi, tetapi hanya bisa meringankan. Sehingga, jika masing-masing pihak jika tidak mau menempuh RJ, maka proses hukum harus segera diputuskan,” tegasnya.

Oleh karena itu, dengan sikap seperti itu, Erman Umar yang juga pernah menjabat sebagai Presiden KAI itu kembali meyakini hakim bakal tegas dalam menuntaskan kasus tersebut.

Erman pun berharap pihak jaksa penuntut umum tidak lagi terus menerus memaksakan untuk mengajukan upaya perdamaian jika kedua belah pihak yang berkonflik lebih memilih upaya hukum.

“Itu ada batasnya jangan dipaksa karena keputusan semua ada di hakimnya. Yang penting ada kepastian karena rasa keadilannya harus tetap dikedepankan,” tandasnya.

Sementara itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengakui bahwa sebenarnya pihaknya sudah menerima rencana penuntutan Kusumayati yang sidangnya sudah beberapa kali tertunda.

Dimana terdakwa Kusumayati sebelumnya dilaporkan atas dugaan pemalsuan tanda tangan anaknya Stephanie, dengan pasal 263 KHUP, di mana pasal tersebut masuk dalam klasifikasi tindak pidana berat.

“Yang pasti rentutnya sudah di kejaksaan. Makanya pimpinan Jampidum memerintahkan kajari kajati. Mungkin secara formal okelah, tapi apa itu penyelesaian yang paling baik,” kata Harli Siregar.

Sementara itu, aktivis hukum Karawang, Abad Badjuri sebelumnya menilai perlakuan terdakwa dalam proses peradilan yang menimpa terdakwa lain, justru tidak seperti yang dinikmati terdakwa Kusumayati.

“Coba kita bandingkan dengan terdakwa lain, misalnya ibu-ibu dipenjara akibat demo menolak pabrik minyak kelapa sawit di Sumatera Utara, video nya sampe viral meluk anaknya dibalik jeruji besi, padahal ini unjuk rasa yang diatur oleh Undang-Undang, ibu itu tetap diproses hukum, dan dipenjara lagi. Kenapa Kusumayati tidak,” ucap Abad beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut diterangkan Abad, contoh kasus lain juga seperti yang dialami Nenek Minah warga Banyumas, Jawa Tengah, yang dituduh mencuri tiga buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan, yang terjadi pada tahun 2009 lalu.

“Nenek Minah tetap dipenjara, dengan tuduhan mencuri 3 buah kakao, padahal saat itu dia sendiri tidak tahu bahwa pohon itu milik perusahaan, dan buah yang diambilnya juga tidak dibawa, tetap saja dia dipenjara,” ucapnya.

Namun, keanehan proses hukum itu terjadi pada seorang terdakwa Kusumayati, yang sudah jelas-jelas melakukan tindak pidana sehingga merugikan korban meskipun anaknya sendiri.

“Ini yang saya bilang aneh, saya hanya menyayangkan bahwa marwah penegakan hukum, dan proses peradilan, seperti dilecehkan oleh terdakwa yang bernama Kusumayati,” pungkasnya.