Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mohammad Mahfud MD tak menampik rasa kagetnya atas vonis bebas yang diputuskan PN Surabaya kepada Gregorius Ronald Tannur oleh majelis hakim pimpinan Erintuah Damanik.

Apalagi, semua memberi keyakinan kalau Ronald bersalah dan semua merasa kasus pembuktian kasus tidak akan sulit.

“Respons polisi, respons kejaksaan, respons PKB waktu itu memberi keyakinan bahwa orang ini salah, membuktikannya kayaknya tidak sulit. Apalagi ada kesaksian macam-macam, ada video, ada autopsi dan sebagainya, ya sudah putus sendiri di pengadilan, kok tiba-tiba ini 8 bulan kemudian tahu-tahu bebas, kita semua kaget,” kata Mahfud MD dalam podcast Terus Terang Mahfud MD yang tayang di YouTube yang dikutip Holopis.com, Kamis (1/8).

Bagi Mahfud, dugaan publik terkait hakim tidak profesional bisa iya, bisa juga tidak. Dan ini bagian dari ironi penegakan hukum yang tengah berjalan di Indonesia. Apalagi ia menilai bahwa public common sense sudah jelas soal adanya penyiksaan, luka-luka, autopsi dan lain-lain yang ditunjukkan di pengadilan yang disinyalir memang dilakukan Ronald Tannur terhadap bekas pacarnya, Dini Sera Afrianti pada Rabu 4 Oktober 2023 lalu. Tapi, hakim malah menafsirkan itu tidak menyebabkan kematian.

“Misalnya, bahwa pendarahan itu tidak selalu menjadi penyebab kematian, tapi peristiwa kenapa pendarahan terjadi kan sudah ada. Nah, bisa juga yang pertama yang paling mungkin diduga oleh masyarakat ini hakimnya tidak benar,” ujar Mahfud.

Selain itu, Mahfud membuka opsi lain bahwa mungkin konstruksi dakwaannya dari kejaksaan yang kurang cermat. Sebab, dalam hukum itu ada dalil jika tidak bisa meyakinkan kalau itu tidak terjadi, maka tentu saja hakim tidak bisa memaksakan memutus bersalah. Hal itu menurut Mahfud wajar membuat semua pihak kaget, karena tiba-tiba pengadilan memberi vonis bebas. Apalagi, dakwaan berlapis.

Dalam konteks ini, Mahfud MD sebagai pakar hukum melihat, bahwa masih ada 3 (tiga) pintu yang bisa ditempuh untuk mencari keadilan atas kematian Dini Afrianti di tangan Ronald Tannur. Salah satunya adalah melalui mekanisme kasasi, salah satu upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan pengadilan tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.

“Kita sudah pernah, karena dulu pernah kasasi, jaksa berhasil dan luar biasa ketika Anda tahu kasus Indosurya, bebas murni katanya. Kita tidak terima, harus diperiksa lagi, dituntut lagi dari kasus lain yang terkait itu yang tidak ne bis in idem, tapi sebelum itu kita harus kasasi, begitu kasasi kena, kalau tidak salah 17 tahun,” tutur Mahfud.

Pintu kedua, lanjut Mahfud, Badan Pengawas (Bawas) hakim di Mahkamah Agung (MA) harus melakukan pemeriksaan. Artinya, MA melalui Pengadilan Tinggi bisa turun tangan melakukan tindakan karena vonis bebas ini terjadi di Pengadilan Negeri (PN).

Pintu ketiga, Mahfud menekankan, Komisi Yudisial (KY). Mahfud menyampaikan, meski KY tidak boleh memeriksa substansi perkaranya, tapi KY bisa melihat apa yang mencurigakan seperti perilaku, hubungan-hubungan dengan terdakwa dan lain-lain.

“Ini mencurigakan tidak ini, perilakunya, hubungan-hubungannya dengan penuntut, hubungannya dengan keluarga korban, hubungannya dengan keluarga terdakwa dan sebagainya itu kan bisa diselidiki. KY tidak boleh masuk ke pokok perkaranya, sudah disepakati, jadi masih ada tiga pintu ini agar semuanya menjadi jelas,” ujar Mahfud.

Anggota DPR RI periode 2004-2008 itu menambahkan, rusak negara ini kalau cuma anak mantan Anggota DPR lalu diberi keistimewaan seperti itu. Mahfud menegaskan, anak presiden sekalipun tidak boleh, apalagi cuma anak mantan Anggota DPR RI.

“Ya kita tunggu saja, saya kira tidak boleh kita diam, ini harus terungkap ke publik apa yang sebenarnya terjadi seperti halnya kita mengungkap ke publik kasusnya Vina, akhirnya kan terbuka juga apa yang terjadi,” pungkasnya.