Holopis.com HOLOPIS.COM, MADIUN – Kriminolog UI sekaligus Pengamat Kepolisian, Prof. Adrianus Meliala berpendapat, bahwa tidak terimanya pihak keluarga atas kematian Afif Maulana yang dianggap tidak wajar, sangat bisa dipahami.

Keluarga korban, menurut Adrianus, tidak percaya bahwa korban tidak saja memperoleh tindakan yang tidak hanya kasar, melainkan juga fatal. Disambungnya, analisa tersebut didasarkan pada kenyataan, bahwa anggota kepolisian yang menangani kasus tersebut sudah terbukti berbuat kasar.

“Karena anggota kepolisian sudah terbukti berbuat kasar. Buktinya, sudah belasan (anggota polisi) yang diberikan sanksi etik terkait tindakan kasar. Itu pemikiran logis yang harus diterima kepolisian,” kata Adrianus dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Rabu (3/7).

Permasalahannya, lanjut Adrianus, walau pihak kepolisian diduga melakukannya, namun tidak ada bukti yang kuat. Ditambah lagi adanya luka-luka pada korban, bukanlah luka penganiayaan tapi lebam mayat.

Pun demikian, sebut Adrianus, bilamana aparat kepolisian memang terbukti melakukan penyiksaan hingga tewasnya korban, ia berharap Kapolda Sumatera Barat tidak coba-coba melindungi anggotanya yang bersalah dengan dalil apa pun.

“Tidak ada gunanya Polda Sumbar melindungi anggotanya,” tuturnya.

Sekadar diketahui Sobat Holopis, bahwa Indonesia sedang dihebohkan dengan kasus meninggalnya seorang pelajar SMP Muhammadiyah di Padang. Anak bernama Afif Maulana tersebut tewas usai adanya operasi penekanan angka kenakalan remaja oleh jajaran Brimob Polresta Padang.

Sudah hampir satu bulan kematian Afif Maulana belum terungkap secara terang. Apalagi ada indikasi bahwa terjadi ketidakprofesionalan anggota Polri dalam penanganan kasus hingga tewasnya pelajar usia 13 tahun itu.

Jasad korban yang siswa SMP itu pertama kali ditemukan seseorang yang sedang membuang sampah, mengapung di perairan Sungai Batang Kuranji, di sekitar jembatan, pada Ahad (9/6) sekira pukul 11.00 WIB. 

Polisi setempat (Polda Sumbar) berdalih, kematian korban akibat tercebur ke sungai, karena ketakutan saat dilakukan penghalauan aparat kepolisian, yang bertugas mencegah timbulnya tawuran antar anak muda di lokasi kejadian.

Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) setempat yang dipimpin Indira Suryani dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Selasa (2/7), tidak serta merta memercayai kesimpulan polisi atas kematian korban.

Indira menduga, korban tewas akibat penyiksaan aparat kepolisian – termasuk 18 remaja lain yang mengalami hal sama tapi selamat – sebelum akhirnya ditemukan di sungai. 

“Kami meyakini, proses penyiksaan itu muncul terlebih dahulu mulai dari jembatan dan jalan, kemudian penyiksaan itu berlanjut di Polsek Kuranji. Lanjut lagi di Polda Sumbar, disuruh guling-guling, merayap dan sebagainya,” cetus Indira.