HOLOPIS.COM, YOGYAKARTA – Teriknya panas di jam siang hari, menjadikan mie ayam semakin memikmat untuk dihidangkan. Hidangan populer pedagang kaki lima ini menawarkan kelezatan yang dibalut kentalnya bumbu bertabur cincangan daun bawang. Jika Sobat Holopis sedang berada di kawasan Yogyakarta, jangan lupa mencicip Mie Ayam Bakso CJDW. Lokasinya terletak di Jl. Ngapak – Kentheng No.KM 6,5, Cokro Gedok, Sidoarum, Godean, Kabupaten Sleman.
Seperti namanya: seje dewe (beda sendiri), keunggulan mie ayam ini terletak pada keontentikan mienya. Pak Gito, pemilik warung, terus menjaga cita rasa khasnya untuk memuaskan setiap pelanggan yang datang. Selain mie ayam, sajian bakso juga memiliki kekhasan tersendiri, sebab dibuat dengan resep khusus oleh Pak Gito.
Dagang makanan khas Indonesia ini sudah dilakoni pria asal Magelang itu sejak lama, kiranya tahun 90-an saat ia merantau di Jakarta. Oleh Dompet Dhuafa, Pak Gito diberi perbekalan tentang kewirausahaan. Kini ia telah mampu berkembang, hingga memiliki outlet dan beberapa karyawan.
Namun tak sesingkat itu, perjalanannya hingga pada titik sekarang tentu tak mudah. Dari yang tak punya apa-apa, kini ia menjadi pahlawan keluarga.
Sebelum seperti ini, Pak Gito adalah seorang pedagang kaki lima. Benar-benar kaki lima: gerobak kayu dengan dua roda dan satu tongkat penyangga. Setiap hari, ia bertengger di sebuah balai yang kerap digunakan warga setempat untuk cakrukan. Itu yang menginspirasi Pak Gito menamai dagangan mie ayamnya dengan nama Mie Ayam Cakruk. Nama unik ini masih ia sematkan hingga sekarang sebagai cara mengenang sejarah. Di peta digital pun masih tetap tertera nama ini.
Pada tahun 2011, ia bergabung dalam paguyuban Warung BERES (Bersih, Enak, Sehat), program pemberdayaan ekonomi yang dijalankan oleh Dompet Dhuafa Yogyakarta. Implementasi Program Warung BERES dilaksanakan melalui beberapa tahapan kegiatan yang berkesinambungan. Antara lain yaitu ; pembinaan usaha, bantuan modal, dan paguyuban dagang. Tak tanggung-tanggung, program ini bekerja sama dengan UGM (Universitas Gajah Mada) untuk membina setiap penerima manfaat.
“Bagaimana saya bisa mengembangkan usaha saya. Uang Rp500 (ribu) saja ndak punya. Saya bingung gimana bisa mengembangkan usaha ini. Tapi di pikir saya pengen maju,” kata Pak Gito menceritakan kenangan masa-masa itu kepada Dompet Dhuafa, Rabu (8/11) seperti dikutip Holopis.com.
Selama kurang lebih 6 bulan dibina, ditambah menemukan teman-teman paguyuban yang saling menyemangati, Mie Ayam Cakruk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bermodal ilmu-ilmu yang ia dapatkan selama pembinaan, ia memberanikan diri untuk menyewa outlet agar mampu memproduksi mie lebih besar dan menerima pelanggan lebih banyak.
“Ndelalah istri saya saat itu ada simpanan uang Rp6 juta. Hasil dari jual barang berharga dan perhiasan. Dia sangat mendukung usaha kami bisa berkembang. Terus 2006 kami pindah ke sini ini. Kami pakai uang itu untuk ngontrak 3 bulan. Alhamdulillah setelah itu 3 bulan semakin berkembang, lama-lama saya bisa ngontrak 1 tahun sampai sekarang ini,” lanjutnya bercerita.
Di outlet ini lah, Pak Gito mulai merambah penjualan dengan menambah menu bakso dan berbagai aneka minuman. Namun satu yang terus dipertahankannya, yaitu resep adonan mie dan racikan bumbunya.
Ia mengaku, dulu ia bisa mengenal program BERES Dompet Dhuafa bermula diajak oleh seorang teman. Tekadnya untuk berkembang semakin dikuatkan oleh para anggota paguyuban. Sekarang sudah 7 tahun Pak Gito menempati outlet. Banyak yang sudah bertambah, baik dari menu varian, pelanggan, hingga kini ada 2 karyawan.
Baca selangkapnya di halaman kedua.