HOLOPIS.COM, JAKARTA – Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap memberikan penjelasan, bahwa di dalam konstruksi hukum semua kemungkinan bisa terjadi, salah satunya adalah untuk membebaskan seseorang yang sudah diputus hukum inkrakh bersalah untuk ditinjau hukumannya, bahkan dibebaskan.

Hal ini juga terkait dengan kasus Jessica Kumala Wongso yang sudah diputuskan bersalah dan dihukum dengan hukuman 20 tahun penjara, dalam kasus kematian Mirna Salihin dengan es kopi yang diduga tercampur cairan sianida di Kafe Olivier.

“Jika ada bukti baru dia bukan pelakunya,” kata Yudi dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Minggu (1/10).

Kemudian, usai menonton film dokumenter berjudul Ice Cold yang tayang di Netflix, Yudi pun memberikan penilaiannya terkait dengan gestur dan mimik wajah Jessica. Dalam pengalamannya sebagai penyidik yang sudah pernah melihat langsung bagaimana proses penyidikan terhadap seorang tersangka atau pelaku kejahatan, mimik wajah tidak bisa serta merta dijadikan dalih penguat untuk menentukan apakah seseorang memang bersalah atau tidak.

“Saya ambil perspektif pengalaman saya sebagai penyidik ketika melihat Jessica lagi, ketegasan suaranya dan mimik wajahnya masih relatif sama kaya dulu di persidangan, alhasil menilai gesture tak cukup jadi kesimpulan dia pelaku pembunuhan atau bukan,” ujarnya.

Karena di dalam pengalamannya pula, sikap seseorang apakah gugup atau tidak pun tidak juga serta merta menunjukkan seseorang itu bersalah atau tidak.

“Tidak semua orang bersalah gugup atau bisa tenang, dan sebaliknya, orang tidak bersalah juga bisa gugup dan bisa tenang juga,” tandasnya.

Hanya saja, pendapatnya ini tak juga dalam rangka untuk menafikan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menetapkan Jessica Kumala Wongso harus dihukum dengan kurungan 20 tahun penjara.

“Tapi sekali lagi, hakim di tiap tingkatan peradilan sudah putuskan bahwa Jessica bersalah dan yakin akan putusannya, makanya dihukum penjara selama 20 tahun,” jelasnya.