HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan, bahwa tidak boleh seorang Presiden sebagai Kepala Negara ikut bermain di dalam kontestasi politik baik Pileg, Pilkada maupun Pilpres.
“Kalau cawe-cawe, sudah pasti dia bukan presiden, karena cawe-cawe itu ikut-ikutan atau intervensi. Dalam sistem presidensil itu presiden nggak mungkin cawe-cawe, karena dia leader dari konstitusi. Dia harus kerja terus menerus tanpa terkait pemilu,” kata Refly Harun di Jakarta, Kamis (8/6) seperti dikutip Holopis.com.
Dalam konteks pelaksanaan Pilpres 2024, tentu harus diselenggarakan dengan langsung, umum, terbuka, jujur dan adil. Karena pemilu dilaksanakan setelah reformasi, dimana semua dilakukan secara demokratis.
Tidak seperti di era orde baru pemerintahan Soeharto. Refly menyebut bhawa di saat orba, pemilu tentu tidak dilakukan secara jujur, sehingga kekuasaan menjadi seolah abadi.
“Pemilu itu harus luber jurdil. Orba itu pemilu tidak jurdil karena pemerintahnya berpihak. Indikatornya Lembaga Pemilihan Umum di bawah departemen dalam negeri. Karena itu reformasi melakukan sebuah koreksi untuk memunculkan lembaga independen dan termuat dalam pasal 22 E UU 1945, bahwa pemilu diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang tetap dan mandiri,” terangnya.
Di era reformasi, lembaga pemilihan umum yang telah ditunjuk untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara independen dan profesional tidak boleh disetir dan diatur oleh pihak manapun termasuk penguasa.
“Lembaga ini tidak sekadar ekspertis tapi soal independennya. Orba itu pemilu dilakukan pemerintah tapi sekarang pemilu dilakukan oleh sebuah lembaga mandiri,” tandasnya.
Oleh sebab itu, Refly pun mengingatkan bahwa Presiden tidak boleh ikut cawe-cawe dalam pertandingan dan pengaturan skor pemilu. Presiden hanya boleh berada dalam koridor memastikan pemilu berjalan lancar dan aman.
“Pasal terkait tugas umum pemerintahan. Presiden pemegang kekuasaan pemerintahan, semua urusan pemerintahan di RI adalah urusan presiden. Kecuali dalam konteks pemilu,” ucapnya.
Bahkan untuk memberikan analogi yang mudah, mantan Komisaris Utama PT Pelindo I tersebut mengibaratkan sebuah pertandingan sepak bola. Dimana dalam konteks pertandingan, yang melaksanakan adalah penyelenggara yakni KPU dan Bawaslu. Sementara Jokowi dalam konteks pemerintahannya hanya memastikan stadionnya layak pakai dan semua kebutuhan dalam pertandingan terpenuhi oleh pengelola.
“Saya ibaratkan semacam pengelola stadion, dia mau ada pertandingan sepak bola atau tidak, dia harus memastikan stadionnya ready, rumput mulus, kursinya bagus. Karena dia diberikan mandat sebagai pengelola,” terang Refly.
Baca selengkapnya di halaman kedua.