HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta menyatakan bahwa saat ini ada tren pelemahan aktivitas kelompok radikalis dan teroris di Indonesia. Hal ini juga dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya pembubaran kelompok radikalis dan teroris, Jemaah Islamiyah (JI) oleh para mantan amir mereka sendiri.
“Kelompok teroris yang sebelumnya eksis di Indonesia, aktif melakukan aksi kekerasan saat ini mulai melemah, bahkan kelompok besar seperti Jamaah Islamiyah sudah membubarkan diri dan menyatakan meninggalkan jalan kekerasan,” kata Stanislaus kepada Holopis.com, Selasa (9/12/2025).
Pun demikian, kelompok yang terafiliasi dengan jaringan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) tetap harus diwaspadai, di antaranya adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
“Kelompok yang berafiliasi dengan ISIS yang masih perlu diwaspadai,” ujarnya.
Hanya saja dengan pemelahan aktivitas kelompok radikalis dan teroris tersebut, ia meyakini bahwa bulan Desember yang biasa dikenal dengan bulannya teroris aman tahun 2025. Masyarakat khususnya umat Kristiani bisa beraktivitas dan beribadah dengan aman dan nyaman tanpa khawatir adanya ancaman terorisme seperti yang selalu menghantui masyarakat di beberapa tahun lalu.
“Saya menilai dengan situasi saat ini, aparat keamanan dan intelijen yang kuat, serta melemahkan kelompok yang biasa melakukan aksi kekerasan, saya optimis Nataru akan aman,” tegasnya.
Intel dan Aparat Harus Selalu Waspada
Lebih lanjut, dosen Prodi Kajian Ketahanan Nasional SKSG Universitas Indonesia ini pun menjelaskan bhawa kewaspadaan tetap harus dilakukan khususnya oleh aparat keamanan di Indonesia. Sebab kerentanan terjadinya peluang terhadap pergerakan baru oleh kelompok radikalis dan teroris masih sangat besar.
“Kita bisa melihat secara ilmiah melalui teori gelombang terorisme yang dicetuskan oleh David Rapoport,” ujarnya.
Gelombang yang telah terjadi menurut Stanis adalah agama. Du mana nyaris seluruh pergerakan terorisme yang telah terjadi berakar dari faktor pandangan tentang agama tertentu.
“Gelombang keempat terorisme, yang oleh David Rapoport disebut Gelombang Agama (Religious Wave), dimulai sekitar tahun 1979 setelah tiga peristiwa signifikan di dunia Islam. Berbeda dengan tiga gelombang sebelumnya yang didominasi oleh ideologi politik atau nasionalis,” jelas Stanislaus.
Pengamat terorisme Timur Tengah ini memaparkan bahwa gelombang agama akan menjadikan pandangan keagamaan sebagai tombol picu ledakan besar dari sentimen kelompok pengikut agama tertentu, tanpa pandang jarak dan waktu.
“Gelombang ini didorong oleh motif-motif keagamaan radikal, yang memberikan pembenaran transenden (ilahi) terhadap tindakan kekerasan. Kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda dan ISIS adalah contoh utama dari gelombang ini, yang mengubah sifat target dan tingkat kekejaman, menjadikan doktrin agama sebagai landasan utama untuk aksi teror mereka,” tuturnya.
Masih berdasarkan teori yang ia pelajari, bahwa gelombang agama akan nyaris lemah sama sekali di tahun 2026. Di mana pemantik terorisme dan radikalisme dengan sumbu agama tidak begitu mampu menarik seseorang melakukan aksi-aksi gila, seperti bom bunuh diri yang sempat menjadi tren di beberapa tahun lalu.
“Berdasarkan teori siklus Rapoport bahwa setiap gelombang terorisme modern berlangsung sekitar satu generasi politik atau 40 tahun, ia memperkirakan bahwa energi gelombang keempat ini akan mereda atau menghilang di sekitar pertengahan tahun 2020-an (sekitar 2025/2026),” ungkapnya.
Sekalipun begitu, Stanislaus Riyanta menekankan bahwa David Charles Rapoport pun telah menyarankan bahwa gelombang-gelombang tersebut cenderung tumpang tindih, dan elemen terorisme tidak pernah hilang sepenuhnya.
Yang wajib menjadi catatan lanjutan adalah, muncul gelombang kelima yang bisa saja sudah siap menunggu di depan mata. Di mana gelombang ini yang memiliki karakteristik dan pendorong baru, sebelum Gelombang Keempat ini benar-benar berakhir.
“Jadi jika ada yang harus diwaspadai lebih cermat lagi adalah terorisme gelombang kelima, dan sinyal-sinyal itu sebenarnya sudah mulai muncul seperti aksi teror dengan motif white supremacy,” pungkasnya.



