MAKASSAR – Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Danny Pomanto, dituding mengkapling laut di kawasan reklamasi Tanjung Bunga, Makassar.
Atas tuduhan itu, Danny menantang Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membuktikannya. Dia bahkan meminta BPN untuk mengungkapkannya jika memang namanya termasuk.
“Pokoknya ungkap semua nama-namanya. Minta BPN tunjukkan kalau memang ada namaku dalam daftar situ,” tegas Danny, dikutip Minggu (2/2).
Baca juga :
- Kades Kohod cs Ngaku Palsukan Surat, Bareskrim Segera Tetapkan Status Tersangka
- Danny Pomanto akan Laporkan KPU Sulsel ke KPK Usai Kalah di MK
- Viral! Perwira Polri Tampar Seorang Wanita di Pelabuhan Makassar
- Nusron Wahid Ogah Buru-buru Cabut Seluruh Sertipikat Pagar Laut
- Bareskrim Resmi Buka Penyidikan Konflik Pagar Laut
Kata wali kota Makassar dua periode itu, penimbunan laut tidak bisa sembarangan tanpa izin resmi. Danny pun menyoroti adanya praktik sertifikasi lahan di atas laut yang menurutnya tidak masuk akal.
“Laut itu tidak boleh ditimbun tanpa izin. Ada izinnya. Nggak sembarangan, apalagi mensertifikatkan,” katanya keheranan.
Danny juga mengaku siap menunjukkan bukti terkait isu ini jika diperlukan. Dia justru menyindir pihak yang paling vokal berbicara justru merekalah yang namanya masuk dalam daftar kepemilikan lahan bermasalah.
“Gampang kita lihat, nanti saya tunjukkan. Nanti dibilang lagi politik. Ternyata yang banyak bicara itu yang punya nama di situ,” tegas Danny.
Saat ditanya apakah namanya tercantum dalam sertifikat yang dipermasalahkan, Danny menantang pihak berwenang untuk membuktikannya.
“Kau cari saja, kalau ada namaku. Cari saja. Tidak ada masalah. Kalau sertifikat di darat, pasti namaku ada, tapi kalau laut tidak ada,” kata Danny.
Sebelumnya diberitakan, kasus kapling laut kembali menjadi sorotan masyarakat, kali ini terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan.
Polemik bermula dari terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT DG pada 2015 di kawasan reklamasi Jalan Metro Tanjung Bunga Kota Makassar.
Sertifikat yang dimiliki grup perusahaan itu menjadi perbincangan karena saat terbit, kontur kawasan tersebut masih berupa laut.
Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Makassar, Ahmad Yusran, menyebut bahwa SHGB yang diterbitkan pada 2015 tersebut berpotensi melanggar aturan.
“SHGB itu terbit sebelum adanya Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Selatan pada 2022. Padahal, sesuai aturan, SHGB diperuntukkan atas tanah, bukan perairan,” ungkap Yusran, dikutip, Minggu (26/1).
Melalui aplikasi Google Earth, ditemukan bahwa area tersebut pada 2015 sebagian besar masih berupa laut dengan pola menyerupai pematang sawah. Fakta ini menguatkan dugaan bahwa sertifikat dikeluarkan tanpa dasar yang sesuai.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar menolak mengungkapkan siapa pemilik SHGB di atas lahan seluas 23 hektar tersebut dengan alasan informasi terbatas.
Kasi Sengketa BPN Makassar, Andrey Saputra, menyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar memilih untuk tidak mempublikasikan informasi terkait pemilik SHGB tersebut.
“Kami hanya bisa memastikan bahwa sertifikat itu ada. Tapi mengenai pemiliknya dan waktu penerbitannya, mohon maaf, tidak bisa kami sampaikan karena terkait hak perorangan,” ujar Andrey.
Ia juga menegaskan bahwa sertifikat SHGB hanya dapat diterbitkan jika pemohon telah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan.
“Kami hanya bekerja berdasarkan dokumen yang sudah ada. Untuk alas hak dan pengukuran awal, itu ranah dinas terkait,” bebernya.
Kapling ini mengundang banyak pertanyaan terkait proses penerbitan sertifikat di kawasan yang saat itu masih berupa laut.
Menurut Andrey, sebelum sertifikat diterbitkan, pemohon harus menyertakan alas hak yang menjadi dasar pengajuan.
Namun, ia mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui pasti jumlah sertifikat yang telah diterbitkan di atas laut sejak 2015 hingga 2024.
“Kami melakukan pengukuran berdasarkan koordinat yang diajukan. Setelah semua syarat dipenuhi, barulah sertifikat diterbitkan,” jelasnya.