HOLOPIS.COM, JAKARTA – Penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung akhirnya menyeret nama Robert P. Bonosusatya alias Robert Bono dalam perkara mega korupsi di PT. Timah yang telah menjerat sejumlah crazy rich menjadi tersangka.
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan, Kuntadi sebatas mengatakan bahwa Robert Bono yang pernah membeli PT Refined Bangka Tin (RBT) di tahun 2016 ini dengan kapasitasnya sebagai saksi.
“Hari ini kami memanggil dan memeriksa RBS selaku saksi,” kata Kuntadi dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Senin (1/4).
Saat dipertegas apakah pemeriksaan Robert Bono yang sempat terlibat dalam kasus pembunuhan di Kalimantan Selatan ini bakal berujung penetapan tersangka, Kuntadi tidak mau menjawab tegas.
“RBS sedang kami periksa,” dalihnya.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Kuntadi bakal terus memburu Penerima Manfaat (Owner) lain. Dimana salah satu nama yang diduga ikut menerima manfaat yaitu Robert P. Bonosusatya alias Robert Bono pun bukan tidak mungkin terseret jika ada alat bukti yang cukup.
“Pihak lain sekali lagi kami tegaskan pemeriksaan saksi adalah untuk membuat terang tindak pidana,” tegas Kuntadi dalam pernyataannya Rabu (27/3).
“Siapa pun bila ditemukan alat bukti, kita pasti akan tindak-lanjuti,” sambungnya.
Kuntadi waktu itu menyatakan pihaknya akan terus kejar penerima manfaat dalam skandal timah karena diduga menerima paling banyak dibanding 14 tersangka lain sebagian besar pekerja alias orang upahan.
Penerima manfaat lain dari kelompok 14 tersangka adalah Beneficial Owner CV. Venus Inti Perkasa (VIP) Thamron Tamzil alias Aon.
VIP adalah satu diantara lima Smelter yang terlibat kerjasama bermasalah dengan PT. Timah Tbk. Lainnya, PT. RBT, PT. Tinindo Inter Nusa (TIN), PT. Stanindo Inti Perkasa (SIP) dan PT. Sariwiguna Bina Sentosa (SBS).
Sementara ini, Kuntadi juga sempat dikonfirmasi mengenai peran Artha Graha Network (AGN) sebagai pemilik awal PT. RBT pada 2007 sebelum akhirnya berpindah kepada sejumlah pengusaha di Babel sejak 2016.
“Kami masih akan mempertimbangkan mengenai ke depan kita tidak mau berandai andai,” jawab Kuntadi.
Kuntadi pun tidak menampik bakal menghitung kerugian Skandal Timah mundur sejak 2007 bukan sekadar 2015 – 2022.
“Kerugian negara Rp 271 triliun itu baru meliput kerusakan ekologi lingkungan. Kami masih dalam proses pengjitungan formulasinya masih kami rumuskan dengan baik,” jawab Kuntadi tanpa menyinggung kerusakan lingkungan sudah dimulai sejak 2007.