HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua tim hukum pihak terkait sengketa PHPU (perselisihan hasil pemilu) untuk Pilpres 2024, Yusril Ihza Mahendra memberikan respons atas statemen Mahfud MD yang menyebut bahwa ia pernah menyebut agar jangan sampai MK (Mahkamah Konstitusi) menjadi mahkamah kalkulator saja.
“Saya mengatakan Mahkamah Konstitusi semestinya tidak hanya menjadi mahkamah kalkulator, tapi Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa substansi penyelenggaraan pemilu, bahkan dapat membatalkan (hasil) pemilu tersebut,” kata Yusril dalam keterangannya, Rabu (27/3) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) seperti dikutip Holopis.com.
Ia mengakui bahwa dirinya memang pernah mengatakan itu pada saat menjadi saksi ahli dalam sengketa hasil Pilpres tahun 2014 lalu, di mana saat itu terjadi perselisihan hasil pemilu antara paslon Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa.
Hanya saja Yusril memberikan garis bawah penting, bahwa apa yang disampaikan itu memang belum ada regulasi dan kebijakan yang saat ini ada, yakni adanya pembagian tugas dan kewenangan terkait dengan persoalan sengketa tentang kepemiluan.
“Itu betul saya ucapkan pada tahun 2014 ketika belum ada aturan-aturan tentang pembagian kewenangan,” ujarnya.
Dijelaskan Yusril, pembagian kewenangan itu terjadi saat disepakati pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang diisi oleh Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung.
“Di mana kewenangan itu jika terjadi pidana itu kewenangannya Gakkumdu, ada atau tidak (tindak pidananya), kalau ada terus ditindaklanjuti aparat penegak hukum,” imbuhnya.
Kemudian, Yusril juga menjelaskan lebih gambang bahwa apabila terjadi pelanggaran administratif tentang kepemiluan, akan hal itu menjadi kewenangan Bawaslu untuk menindaklanjutinya. Kemudian, pelanggaran itu bisa dinaikkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) hingga dapat juga diadili hingga ke Mahkamah Agung (MA).
“Ujungnya yang menjadi sisa dari itu semua adalah dengan perselisihan hasil pemilu. Hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” terangnya.
Dengan penjelasan itu, Yusril menegaskan bahwa apa yang disampaikan Mahfud MD saat membacakan pembukaan materi permohonan di MK dengan sikapnya saat ini bukan bagian dari bentuk ketidakkonsistensi dirinya dalam memandang persoalan sengketa kepemiluan.
“Jadi apakah saya mencla-mencle, atau orang sengaja ingin memberikan gambaran bahwa seolah-olah saya tidak mengerti persoalan ini. Saya sangat mengerti persoalan ini,” tegasnya.
Sengketa Proses dan Sengketa Hasil
Dalam kesempatan yang sama, Yusril sekali lagi menegaskan bahwa pendapatnya di tahun 2014 dengan situasi saat ini jelas berbeda. Tidak bisa dijadikan dasar pembanding untuk memberikan argumentasi yang konstan karena adanya perkembangan kebijakan yang ada.
“Jadi pendapat 2014 itu pasti akan berubah setelah tahun 2017, karena adanya UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang membagi kewenangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu,” tutur Yusril.
Dalam sengketa kepemuluan, ada persoalan adeministrasi seperti kepesertaan seseorang dalam kontestasi pemilu yang dijalankan oleh KPU. Hal ini seperti materi gugatan pemohon I maupun pemohon II yang memohonkan agar MK mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024.
Menurut Yusril, jika materi itu yang menjadi pokok permohonan kubu Anies-Imin maupun Ganjar-Mahfud, maka jelas salah alamat. Sebab, persoalan administrasi kepemiluan sudah dibagi kewenangan penyelesaiannya di ranah Gakkumdu.
“Pertama adalah persoalan administrasi yang diselesaikan oleh pengadilan tinggi TUN dan Mahkamah Agung, persoalan pidana pemilu oleh Gakkumdu dan aparat penegak hukum,” terangnya.