HOLOPIS.COM, JAKARTA – Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang juga Helena Lim ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) tahun 2015-2022.

“Berdasarkan alat bukti yang telah ditemukan dan setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif penyidik menyimpulkan telah cukup alat bukti untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung, Kuntadi kepada wartawan, di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (26/3).

Helena Lim yang juga merupakan crazy rich PIK (Pantai Indah Kapuk) tersebut langsung dijebloskan usai menjalani pemeriksaan. Helena ditahan di Rutan Salemba Kejagung selama 20 hari ke depan. Mengenakan rompi tahanan berwarna pink, Helena hanya bungkam saat digelandang oleh penyidik Kejagung ke mobil tahanan.

“Untuk kepentingan penyidikan kita lakukan penahanan di rutan Salemba cabang Kejagung untuk 20 hari ke depan,” ujar Kuntadi.

Kejagung menduga tersangka HLN selaku Manager PT QSE pada tahun 2018-2019 telah membantu mengelola hasil tindak pidana kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Perbuatan itu dilakukan dengan memberikan sarana dan fasilitas kepada para pemilik smelter dengan dalih menerima atau menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR).

“Yang sejatinya menguntungkan diri tersangka sendiri dan para tersangka yang telah dilakukan penahanan sebelumnya,” ungkap Kuntadi.

Kejagung menjerat Helena Lim dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 KUHP.

Diketahui, Kejagung sedang mengusut kasus dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk 2015-2022. Kejagung menduga terdapat pelanggaran yang dilakukan terkait kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta secara ilegal. Hasil pengelolaan itulah yang kemudian dijual kembali oleh pihak swasta kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Kejagung telah bekerja sama dengan ahli lingkungan menghitung kerugian ekologis yang disebabkan oleh pertambangan timah dalam kasus IUP PT Timah Tbk. (TINS). Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan itu mencapai Rp 271 triliun.

Adapun kasus ini bermula saat sejumlah tersangka kasus ini melakukan pertemuan dengan eks petinggi PT Timah Tbk. (TINS) untuk melakukan penambangan. Saat itu, mantan Direktur PT Timah Tbk (TINS) Riza Pahlevi dan Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018 Emil Emindra untuk mengakomodir pertambangan timah ilegal.

Pertemuan itu lalu membuahkan hasil kerja sama antara PT Timah dan sejumlah perusahaan untuk seolah-olah ada sewa-menyewa soal proses peleburan. Guna memasok kebutuhan bijih timah itu, kemudian disepakati untuk menunjuk tujuh perusahaan boneka mulai dari CV BJA, CV RTP, CV BLA, CV BSP, CV SJP, CV BPR, dan CV SMS.

Kejagung sebelumnya telah menetapkan 14 tersangka kasus timah ini. Di antaranya MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021; EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018; SG alias AW selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; dan MBG selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

“Hingga saat ini, Tim Penyidik telah memeriksa total 142 orang saksi dalam perkara ini,” tandas Kuntadi.