HOLOPIS.COM, JAKARYA – Calon Wakil Presiden nomor urut 03, Mahfud MD pernah menyampaikan bahwa keberadaan Gibran Rakabuming Raka bukan dalam Pilpres 2024 merupakan dinasti politik, sekalipun sang ayah kandung yakni Joko Widodo saat ini menjadi Presiden Republik Indonesia.
“Dinasti politik itu sebenarnya bukan ada di negara demokrasi,” kata Mahfud MD dalam sebuah video bersama Najwa Shihab yang dikutip Holopis.com, Rabu (7/2).
Hal ini disampaikan Mahfud saat ditanya tentang pandangannya dia sebagai pakar hukum tata negara soal dugaan praktik politik dinasti pasca Gibran Rakabuming Raka ditetapkan sebagai Cawapres pasca adanya Putusan MK Nomor 9/PUU-XXI/2023 yang memberikan opsi bahwa calon presiden atau calon wakil presiden dapat dicalonkan dengan syarat pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
“Tidak ada larangan lho, saya sudah berkali-kali lho (bilang). Anak Presiden jadi pejabat berikutnya, suami seorang bupati jadi bupati berikutnya tidak ada larangan hukumnya, secara hukum tata negara tidak dilarang,” tegasnya.
Perspektif itulah yang membuat dirinya sama sekali tidak pernah mau menyerang Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dalam konteks norma hukum yang ada di Indonesia.
“Saya mau melarang pakai apa? wong hukum membenarkan,” ujarnya.
Sehingga, ia pun menegaskan kembali, bahwa dalam sistem demokrasi modern seperti yang dijalankan di Indonesia, tidak ada istilah dinasti politik hanya karena seorang keluarga pejabat ingin menjadi pejabat melalui proses pemilu.
“Jadi tidak ada larangan dinasti politik kalau dalam arti keluarga menjadi pejabat, ndak ada larangan dalam hukum,” terangnya.
Pun jika pihak-pihak tertentu tidak setuju dengan pencalonan seseorang karena dianggap memiliki afiliasi dengan pejabat, maka pertentangannya bukan soal hukum, akan tetapi etika dan moralitas saja dengan memandang segi pantas atau tidak pantas saja.
“Itu penilaian etik dan moral. Tidak boleh membunuh hak orang untuk berpolitik,” ucapnya.
Kecuali, dalam kebutuhan politik praktis itu ada fasilitas negara yang disalahgunakan oleh calon pejabat maupun keluarga pejabat untuk melakukan kampanye dan sebagainya. Karena ada koridor hukum yang melarang itu, maka perilaku abuse of power bisa dijeratkan dengan konteks pelanggaran pidana kepemiluan.
“Kecuali benar-benar sesudah melakukan itu lalu menggunakan fasilitas negara, baru diproses hukum,” tegas Mahfud.