HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mendorong agar majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk segera memutuskan gugatan batas usia Capres-Cawapres untuk mengubah Pasal 169 huruf q di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Menurutnya, percepatan pembacaan putusan ini penting sebagai bentuk kepastian hukum apalagi pokok perkara yang disidangkan sudah memasuki tahapan pembacaan putusan.
“Untuk kepastian hukum, MK didorong segera menggelar sidang pleno pembacaan putusan, mengingat tahapan Pilpres akan memasuki masa pendaftaran pada 19-25 Oktober 2023,” kata Hendardi dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Rabu (27/9).
Ia menekankan bahwa menunda pembacaan putusan padahal sudah diputus, sama saja menunda keadilan.
“Menunda keadilan berarti menolak keadilan sebagaimana doktrin justice delayed justice denied. Artinya, putusan MK tidak akan berarti bagi penegakan kehidupan berkonstitusi,” imbuhnya.
Alasan lain mengapa penyegeraan pembacaan putusan ini menurut Hendardi adalah sebagai pelajaran penting bagi pihak-pihak tertentu termasuk para oligarki yang ingin tetap bisa berkuasa. Hal ini dengan melihat masuknya gugatan baru ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh salah seorang Mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A melalui advokat Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan. Yang mana surat permohonan perbaikan atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bertujuan menguji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
“Pentingnya menyegerakan pembacaan putusan juga ditujukan untuk memberi pembelajaran bagi warga dan elit yang nafsu berkuasa dengan terus mengorkestrasi argumen keadilan, bahwa seolah-olah pembatasan usia capres/cawapres adalah diskriminatif sehingga harus ditafsir lain,” paparnya.
Padahal kata Hendardi, sejak lama persoalan tentang pengaturan usia pejabat publik dikategorikan bukan sebagai isu konstitusional oleh MK, sebagaimana dalam putusan putusan No. 37/PUU-VIII/2010 terkait usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 terkait syarat usia calon hakim konstitusi, No. 15/PUU-XV/2017 terkait usia calon kepala daerah, dan putusan No. 58/PUU-XVII/2019 dan putusan No. 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia pimpinan KPK yang tetap dinyatakan sebagai bukan isu konstitusional.
Ditekankan Hendardi lagi, bahwa batas usia dalam pengisian jabatan publik jelas merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yang oleh karenanya bukan kewenangan MK untuk mengaturnya.
“Presiden dan DPR sebagai law maker adalah institusi yang berwenang menetapkan batasan usia tersebut,” tegasnya.
Terlebih kata Hendardi, perbaikan itu dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki legal standing apa pun dalam materi perkara tersebut, termasuk ia menilai perbaikan materi gugatan itu cenderung politik. Yang mana, Calon Presiden maupun Calon Wakil Presiden harus minimal 40 tahun dan memiliki pengamanan menjadi Kepala Daerah.
“Selain tidak punya legal standing, karena yang bersangkutan tidak sedang dan akan nyapres, permohonan ini sangat politis karena pemohon meminta tafsir dan makna konstitusional ketentuan batas usia itu dimaknai dengan bahwa syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/walikota,” jelas Hendardi.
Terakhir, Hendardi mengingatkan bahwa MK harus tahan ujian di tahun politik, meskipun sebagian orang telah meragukannya. Dan yang tak kalah penting menurutnya, MK seharusnya mampu menghentikan konsolidasi politik dinasti yang dikendalikan oligarki, yang terlanjur memerankan sebagai pengendali republik melalui praktik vetocracy di hampir semua kebijakan negara.
“MK adalah satu-satunya harapan penjaga kualitas demokrasi dalam Pemilu, saat para penyelenggaraan Pemilu dan pemerintah menunjukkan gejala tidak netral dalam kontestasi,” pungkasnya.