“Kan mereka bisa punya hidup lebih baik nantinya?. Ya bantu saja Rakyat di rumah sekarang. Nggak perlu dipaksa pindah,” tegas Alissa.
Sample Case Wadas
Tidak hanya itu, Alissa yang aktif dalam gerakan kemanusiaan ini menceritakan pengalamannya ketika berupaya mengadvokasi masyarakat di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dimana ia melihat dengan fakta betapa masyarakat di sana dibodohi oleh narasi tanah milik negara.
Baca juga :
- Presiden Prabowo : Ada Raja Kecil yang Lawan Saya Untuk Hemat Anggaran!
- Presiden Prabowo Tertawakan Upaya Adu Domba Dirinya dengan Jokowi
- Presiden Prabowo Sidak Program Makan Bergizi Gratis di Bogor
- Peringati HPN ke-79 2025, Presiden Prabowo Harap Pers Indonesia Selalu Utamakan Kepentingan Bangsa
- Erdogan Kunjungi Prabowo Pekan Depan
“Waktu ketemu warga di Wadas, saya tanya kepada yang menerima tanahnya diambil Negara dengan ganti rugi. Ibu-ibu kemarin memutuskan menerima, ceritanya bagaimana?,” tutur Alissa.
Dari penjelasan masyarakat, bahwa tanah yang mereka sudah duduki puluhan tahun itu disebut sebagai tanah milik negara. Sehingga saat ini waktunya negara mengambil alih dari tangan mereka, sekalipun masyarakat tersebut memiliki sertifikat tanah yang sah.
“Kata bapak-bapak itu, semua tanah itu milik Negara. Dan ini mau diambil. Lha ibu-ibu punya sertifikat?, Punya!. Kalau begitu ya bukan tanah Negara. Itu punya Ibu-ibu sendiri,” tutur Alissa lagi.
Yang cukup miris adalah jawaban dari masyarakat, bahwa pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang selama ini dibayarkan masyarakat adalah bukti bahwa mereka menyewa tanah tersebut. Terkait dengan penjelasan itu, Alissa mengaku sangat sedih.
“Ndak kok mbak. Kata bapak-bapak itu, rakyat itu nyewa kok. Nyatanya kami kan tiap tahun mbayar pajak. Itu kan biaya sewa supaya bisa memakai tanahnya. Ya Allah, saya sedih banget waktu denger ini. Misleading sekali,” paparnya.
Oleh sebab itu, Alissa yang juga koordinator nasional Jaringan Gusdurian tersebut mengingatkan bahwa jangan sampai negara melalui instrumen pemerintahnya terus menerus melemahkan posisi rakyatnya sendiri.
“Selama rakyat dipandang rendah dan lemah, boleh dikorbankan, atas nama pembangunan yang berpihak hanya pada keleluasaan bisnis, selama itu pula kisah-kisah tragis seperti Pubabu, Pohuwato, Kendeng, Rembang, Sukolilo Kendal, Lampung, dan Rempang akan terus terulang,” tegasnya.