HOLOPIS.COM, JAKARTA – Politikus PDI Perjuangan, Rayendra Erwin Moeslimin Singajuru menilai bahwa sistem proporsional tertutup dianggap jauh lebih efektif untuk memperbaiki iklim demokrasi di Indonesia. Pun demikian, ia tak menampik bahwa sistem apa pun tetap memiliki sisi kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

“Sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup harus diakui memang memiliki kelemahan dan kelebihan. Sistem proporsional tertutup pernah diterapkan dalam Pemilu 2004. Sistem ini dalam pemilu berikutnya dikoreksi karena dianggap membatasi kedaulatan rakyat dalam memilih caleg. Dalam perkembangannya, pemilu 2009-2019 menggunakan sistem proporsional terbuka. Faktanya, penggunaan sistem proporsional terbuka justru melahirkan banyak persoalan serius dan mendasar,” kata Erwin dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Senin (30/1) dini hari.

Ia pun memberikan kritikan terhadap sistem pemilihan anggota legislatif (pileg) dengan proporsional terbuka. Banyak sekali kata Erwin, praktik transaksionalnya.

“Sistem ini menjadi pintu masuk maraknya transaksionalisme jual beli suara. Hal itu bisa dikonfirmasi dari pengalaman pemilu 2019. Setidaknya terdapat 67 kasus politik uang yang diputus pengadilan,” ujarnya.

Kemudian, ia juga menyebut bahwa jumlah pemilih yang terlibat di dalam praktik politik uang (money politic) dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia.

“Maraknya politik uang ini sekaligus menegasikan konsep daulat rakyat yang dinisbatkan sebagai kelebihan sistem proporsional terbuka. Sebab fakta yang terjadi di lapangan bukanlah Daulat rakyat tetapi Daulat uang,” ketusnya.

Selanjutnya, alasan lain mengapa ia tidak sependapat dengan sistem proporsional terbuka, karena dinamika sosial politik yang kacau balau. Sistem proporsional terbuka cenderung melahirkan sikap pragmatisme caleg dan pemilih yang merobohkan nilai etika dan moral.

“Mereka hanya berorientasi hasil tanpa peduli dengan keluhuran proses. Pemilu dianggap sebagai cara instan untuk meraih status sosial dan jabatan terhormat serta akses terhadap sumber daya ekonomi tanpa peduli dengan prinsip etika dan moral,” paparnya.

Sehingga lanjut Erwin, penganut pragmatisme politik tidak pernah melihat politik sebagai idealisme untuk memperjuangkan rakyat, berpolitik dianggapnya sebagai mata pencaharian melalui modal yang ia transaksikan dan populisme yang ia jual.

Lalu, doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tersebut menjelaskan, bahwa sistem proporsional terbuka mengondisikan caleg untuk saling melakukan “serangan” meskipun dari partai yang sama hanya demi mendulang suara untuk dirinya.

Seharusnya, antar mereka bisa bekerja sama untuk membumikan ideologi, visi dan misi partai demi meraih simpati pemilih. Erwin menilai bahwa situasi mereka akhirnya terkondisikan sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) dalam terminologi Thomas Hobbes.

“Situasi ini membuat keterikatan ideologis antara caleg dengan partainya berada dititik terendah. Faktor ini pula yang membuat banyak fungsionaris partai menjadi kutu loncat (imigran politik) ke partai lain, bahkan tak jarang melahirkan perpecahan internal dan berujung pada maraknya kelahiran partai baru yang tumbuh bak cendawan di musim hujan,” tandasnya.

Kemudian, Erwin juga menerakan bahwa penggunaan sistem pemilu harus berkorelasi dengan stabilitas demokrasi. Sementara penggunaan sistem proporsional terbuka yang mengondisikan besarnya jumlah dapil dikombinasikan dengan rendahnya parliamentary threshold membuat banyak partai yang berhasil lolos ke parlemen. Situasi ini menyumbang lahirnya sistem multi partai ekstrem yang sesungguhnya tidak compatible dengan sistem presidensil.

Sebagaimana dalil Scott Mainwaring, kata Erwin, kombinasi antara sistem presidensial dengan sistem multi partai ekstrem adalah kombinasi sulit dan bertentangan dengan demokrasi yang stabil. Kondisi ini selanjutnya mengarah pada imobilitas atau kemandegan pemerintahan.

Mainwaring kemudian membeberkan fakta empiris, bahwa di dunia ini relatif sedikit negara yang berhasil dengan kombinasi sistem presidensil dan sistem multi-partai ekstrem. Tercatat hanya Chili negara yang menggunakan kombinasi tersebut dan mampu bertahan selama lebih dari 25 tahun. Selebihnya, sejarah demokrasi presidensil terutama di Amerika Latin seringkali merupakan sejarah eksekutif yang mandeg. Kegagalan ini seringkali berujung pada kegagalan demokrasi.

Terakhir, Erwin juga menyebutkan bahwa dalil para penganjur sistem proporsional terbuka, adalah bahwa sistem ini akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi publik dalam pemilu, faktanya tidak cukup terbukti di lapangan. Data statistik menunjukkan, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2004 yang menggunakan sistem proporsional tertutup justru sangat besar yaitu, 84,1 persen. Sementara pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka, mulai pemilu 2009 sampai 2019, prosentasenya mengecil. Pada pemilu 2009 hanya diikuti partisipasi pemilih sebesar 70,9 persen. Pada Pemilu 2014 sebesar 75,2 persen, sementara pemilu 2019 sebesar 81,69 persen.

“Artinya, sistem proporsional terbuka tidak berkorelasi apalagi menjamin partisipasi pemilih,” tegasnya.

Justru kata Erwin, dengan sistem proporsional tertutup akan mengondisikan partai dan para calegnya membangun kerja politik secara kolektif. Partai melalui para kadernya akan aktif meraih simpati publik dengan memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan rakyat.

Berangkat dari itu, senior Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut menyampaikan, bahwa wacana kembalinya sistem pemilu ke arah proporsional tertutup harus didukung, karena akan menyelamatkan marwah demokrasi dari momok populisme berbiaya tinggi.

“Proporsional tertutup juga akan mengeliminasi potensi instabilitas pemerintahan, dan mendorong pelembagaan partai politik sebagai pilar penting demokrasi,” ucapnya.

Pun demikian, Staf Khusus Menko Polhukam RI tersebut tetap memberikan catatan penting bahwa suksesnya sistem proporsional tertutup tetap berada pada kedewasaan politik para calon anggota legislatif.

“Tantangan sistem proporsional tertutup lebih pada kedewasaan partai politik untuk menempatkan caleg-caleg potensial dalam daftar nomor urut sesuai kapasitas, integritas dan loyalitas terhadap ideologi parpol. Justru dengan tantangan ini Partai akan cenderung menghindari kecerobohan dalam menempatkan caleg yang tidak kompeten, karena akan mencoreng kredibilitas partai politik di parlemen dan di mata rakyat,” pungkasnya.