JAKARTA, HOLOPIS.COMPresiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat meminta kepada pemerintah untuk tidak coba-coba memaksakan kehendak dengan menjalankan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, termasuk seluruh produk turunannya yang ada 49 Peraturan Pemerintah tersebut.

“ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah untuk tidak memaksakan kehendak, khususnya terkait dengan adanya berbagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diterbitkan oleh Pemerintah,” kata Mirah dalam keterangannya, Jumat (26/11).

Mirah Sumirat mendalilkan tuntutannya berdasarkan pada butir 7 Amar Putusan MK, bahwa seluruh kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan, kemudian pemerintah pula tidak boleh membuat produk regulasi turunannya lagi pasca penetapan Putusan MK pada hari Kamis (25/11) lalu.

“Putusan dan perintah Mahkamah Konstitusi kepada para pembuat undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” tegasnya.

Bunyi amar putusan majelis hakim MK, berbunyi ;
“(7) Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.”

Artinya, terkait dengan keberadaan Peraturan Pemerintah yang telah terlanjur diterbitkan dan berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Mirah menilai sudah seharusnya dibatalkan. Apalagi Peraturan Pemerintah tersebut bersifat strategis dan berdampak luas bagi kehidupan pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

“ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah untuk membatalkan 4 Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan,” tuntut Mirah.

4 (empat) Peraturan Pemerintah tersebut antara lain ;

1. PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA);
2. PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK);
3. PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan
4. PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).

Mirah menyebut, bahwa keempat Peraturan Pemerintah tersebut telah berdampak langsung pada hilangnya jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah dan jaminan sosial, yang sebelum adanya UU Cipta Kerja, telah diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah turunannya, yang mempermudah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah bersifat strategis dan berdampak luas meskipun PHK itu kasus individu. Hal ini karena kemudahan PHK akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran, melemahnya daya beli, menurunnya angka konsumsi rumah tangga yang berujung pada penurunan perputaran ekonomi nasional dan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi nasional.

“Upah minimum juga termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas karena mayoritas pekerja formal adalah pekerja penerima upah minimum,” tandasnya.

Terakhir, Mirah Sumirat juga mengingatkan Pemerintah untuk lebih berpihak kepada rakyat, apalagi setelah Hakim MK juga telah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

“Ini membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah bertindak ceroboh dalam proses pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja,” pungkasnya.