Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Rektor Institut STIAMI, Prof Sylviana Murni mengatakan bahwa hak perlindungan terhadap perempuan harus menjadi concern bersama di semua lingkungan, baik dari lembaga pendidikan seperti kampus dan juga lingkungan masyarakat.

Hal ini disampaikan Sylvi dalam webinar ‘Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Tafsir’ yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Majelis Alimat/Ilmuwan Muslimah Indonesia (PP MAI) melalui zoom meeting yang dipantau Holopis.com, Minggu (3/11).

“Bicara kekerasan pada perempuan dalam perspektif tafsir, ini isu yang sangat komplek dan membutuhkan pemahaman muti dimensional. Ini langkah penting untuk pastikan kesetaraan gender di masyarakat,” kata Sylviana Murni.

Ia menekankan bahwa literasi tentang perlindungan perempuan tidak hanya sekadar masalah sosial semata. Akan tetapi bisa berdampak pada aspek lain yang lebih global, yakni humanity dan religiusitas.

“Ini bukan hanya masalah sosial, tapi menyentuh aspek mendalam seperti kemanusiaan, etika dan nilai-nilai agama,” ujarnya.

Oleh sebab itu, senator dari Jakarta ini pun menegaskan bahwa setiap pelanggaran hak terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap mereka adalah sebuah pelanggaran yang sangat serius, dan wajib menjadi perhatian semua kalangan.

“Ini merupakan pelanggaran yang merusak tatanan dalam bermasyarakat,” tegas Sylvi.

Diterangkan dia lagi, bahwa perlindungan terhadap perempuan harus menjadi isu serius oleh negara, masyarakat dan juga agama. Terlebih dampak kekerasan perempuan juga bisa merambah ke tatanan sosial dan ekonomi.

“Pentingnya pencegahan kekerasan manusia, bicara HAM, kesetaraan gender, kesetaraan sosial. Ini adalah setiap perempuan punya hak untuk hidup dan hak untuk tidak menerima kekerasan. Ini menyangkut kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikologi, termasuk kekerasan ekonomi,” paparnya.

Advokasi dan Edukasi

Lebih lanjut, mantan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2017 tersebut menerangkan bahwa setiap lembaga perlu ada penguatan ketersediaan wadah untuk edukasi dan advokasi terhadap kekerasan seksual.

“Advokasi dan edukasi masyarakat adalah peran agama dalam mencegah kekerasan pada perempuan,” tutur Sylvi.

Namun sebagai akademisi, ia mengatakan bahwa saat ini sudah banyak kampus memiliki sebuah Satgas (Satuan Tugas) untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan bagi perempuan.

“Di lingkungan kampus, ada Satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual),” jelasnya.

Eksistensi Satgas PPKS ini menurut Sylvi memiliki peranan penting bagaimana mereka melakukan edukasi dan advokasi terhadap kasus-kasus kekerasan perempuan, termasuk kekerasan seksual di lingkungan Universitas.

“Ini satgas penting, mereka adalah unit khusus di Universitas tang menangani isu kekerasan dan pelecehan. Mereka memberikan konseling. Tugasnya juga mencegah menangani dan mendukung (korban) kekerasan seksual di perguruan tinggi,” paparnya.