HOLOPIS.COM, KALTIM – Sepanjang 2019 hingga 2020 ada enam pesut ditemukan mati akibat penggunaan jaring nelayan di Perairan Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Mamalia air tawar ini ditemukan terjerat jaring nelayan kemudian berusaha membebaskan diri namun tak membuahkan hasil hingga mati.
Kasus kematian ini adalah satu dari banyak contoh kematian pesut akibat dari pemasangan jaring penangkap ikan atau rengge. Bahkan pada 2021, satu pesut kembali ditemukan mati dengan terjerat jaring di lambungnya. Bukan hanya terjerat, kawanan pesut ini juga memakan jaring nelayan hingga menyebabkan kematian.
Kasus temuan pesut mati menyebabkab berkurangnya populasi hingga saat ini tersisa hanya 70 individu di sepanjang Sungai Mahakam. Hal ini tentu mengkhawatirkan kelangsungan hidup hewan dengan nama latin Orcaella Brevirostris itu.
Hal ini yang menjadi titik fokus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bakayuh Baumbai Babudaya (3B) asal Desa Pela, Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang bekerja sama dengan Pertamina Hulu Mahakam (PHM) dan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI).
Menurut peneliti RASI, Danielle Kreb, kematian terbanyak dari pesut memang selain terjerat jaring nelayan adalah sampah yang dibuang ke sungai. Bahkan pernah ditemukan botol alkohol 70% dalam salah satu perut pesut yang bercampur dengan sampah rumah tangga dan ikan.
“Desa ini sekarang menjadi desa wisata bagi yang mau melihat pesut dan menikmati matahari terbenam, banyak yang datang kesini kadang juga untuk penelitian tentang kelangsungan hidup pesut,” ujar Wakil Ketua Pokdarwis 3B, Boby Arianto kepada media ini, Rabu (30/10).
Ia bercerita, tingkat kematian utama dari menurunnya populasi pesut di aliran Sungai Mahakam adalah karena terjerat jaring nelayan, dan memakan sampah, sisanya mati karena faktor usia. RASI dan PHM kemudian berkolaborasi memecahkan solusi penurunan populasi satwa paling dilindungi ini.
“Kami bersama PHM dan RASI akhirnya menemukan alat yang bisa mencegah pesut untuk mendekat ke jaring nelayan, namanya Banana Pinger. Nama ini sendiri diberikan karena bentuknya mirip pisang dan ini adalah hasil kolaborasi kami yang nanti bisa dipasang di jaring-jaring nelayan dengan metode pemancar suara sehingga pesut tidak mendekat ke jaring namun mengundang ikan-ikan lain untuk ke arah jaring,” ucapnya memamerkan benda berwarna hijau berbentuk pisang.
Berkat itu juga Desa Pela menjadi salah satu desa program ekowisata berbasis konservasi pada 2022 dan didatangi langsung oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dimana Desa Pela ber kontestasi bersama 4318 desa lainnya di Indonesia.
“Di sini yang paling tua itu ada, kita namai Viona nenek pesut, umurnya sekitar 15 tahun dan jadi pelindung bagi pesut-pesut yang lebih muda, jika ada pesut yang melahirkan akan didampingi oleh Viona,” cerita Boby.
Diketahui seekor pesut akan kembali bereproduksi setiap 3,5 tahun sekali dengan waktu hamil selama 14 bulan, pesut akan melahirkan satu anak pesut. Di alam bebas sendiri khususnya di Danau Semayang, Desa Pela kawanan pesut hanya sisa 60 hingga 70 pesut dengan umur dan ukuran yang bervariasi. Panjang pesut baru lahir adalah 60 cm, sedangkan pesut dewasa memiliki panjang 2 hingga 2,7 meter dengan berat 90 hingga 150 kg.
“Waktu terbaik untuk bisa lihat pesut itu pagi dan sore saat pesutnya naik untuk cari makan, kalau sore di area danau sekaligus melihat matahari terbenam sambil mendayung,” tutur Boby lagi seraya mengarahkan kapal kami ke arah Danau Semayang.
Sejak di pasangannya Banana Pinger jumlah pesut yang mati di alam liar menurun pesat menjadi 1 pesut dilaporkan pada 2022 dan 2023 karena faktor usia. Hal ini merupakan prestasi yang baik mengingat kasus terjeratnya pesut di jaring nelayan sangat sering terjadi.