Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sahita Institute (Hints) melihat bahwa komitmen pemberantasan korupsi Presiden Prabowo Subianto adalah kunci untuk merealisasikan agenda hilirisasi sumber daya alam di Indonesia guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut mereka, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dan keras. Memastikan birokrasi dalam kabinet Merah Putih yang ‘gemuk’ tersebut mampu melakukan pelayanannya sesuai tugas dan fungsinya secara bersih dan sinergis serta mengatasi ego antar kabinet dan tradisi birokratis rente adalah sebuah keharusan!

“Semua itu harus dilakukan secara serius oleh Kabinet Prabowo-Gibran dalam kerjanya lima tahun mendatang, dengan tetap berjalan dalam koridor demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat,” tegas Direktur Sahita Institute (Hints), Olisias Gultom dalam keterangan pers yang diterima Holopis.com, Rabu (23/10).

Terkait hal itu, Olisias mengatakan, Sahita Institute (Hints) memiliki beberapa catatan kritis yang masih menjadi persoalan fundamental khususnya mengenai agenda pembangunan ekonomi melalui hilirisasi industri sumber daya alam dan digitalisasi di Indonesia dalam upaya mendorong agenda prioritas kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Pertama, soal hilirisasi industri. Klaim pemerintah atas agenda hilirisasi sumber daya alam sebagai manifestasi kedaulatan ekonomi Indonesia pada kenyataannya telah menghasilkan model pembangunan ekonomi yang cenderung disetir dan lebih menguntungkan kepentingan oligarki atau elit pengusaha nasional dengan dukungan birokrat berwatak pengusaha dan berpotensi memperkuat praktek perburuan rente. Tentunya ini juga membuat Indonesia akan terjebak pada ekstraksi yang berlebih dan tidak terkontrol yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar belaka dan meninggalkan pencapaian tujuan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat,” tutur Olisias.

Terkait dengan pidato Presiden Prabowo yang menekankan bahwa kekayaan alam harus dikelola berdasarkan demokrasi yang berpusat pada kedaulatan rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, Olisias berpendapat, maksud dari pernyataan itu adalah penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam oleh negara harus didasari pemahaman sebagai bagian dari kepemilikan rakyat secara kolektif. Penguasaan dan pengelolaan oleh negara pada prakteknya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Tetapi kita tahu, bahwa BUMN telah menjadi lembaga yang dikenal korup dan menjadi alat memfasilitasi kepentingan bisnis rente para oligarki yang pada akhirnya membuat keuntungan yang seharusnya didistribusikan kepada rakyat menjadi tidak terealisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan agenda pembangunan Hilirisasi yang seperti itu sesungguhnya telah melanggar konstitusi,” imbuh Olisias.

Jika memang Presiden Prabowo berkomitmen untuk secara berani dan tegas memberantas korupsi di Indonesia, menurut Olisias, maka sudah seharusnya prioritas agenda yang dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah mereorganisasi kelembagaan seluruh BUMN dan mengembalikan pada Mandat Konstitusi yang sejati agar agenda hilirisasi sumber daya alam dapat dinikmati secara adil dan merata bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

“Kasus-kasus seperti korupsi pada ‘korupsi timah’, ‘korupsi BTS’ dan lainnya harus segera dituntaskan sebagai wujud nyata janji sebagai presiden dan Wapres serta menteri. Karena, hal ini adalah adalah kunci penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat,” kata Olisias.

Kedua, sambung Olisias, terkait digitalisasi. Komitmen Presiden Prabowo memberantas korupsi akan dilakukan dengan pemanfaatan teknologi digital dalam segala proses administrasi dan birokrasi negara.

“Kami melihat bahwa teknologi digital yang memiliki potensi dan keluwesan yang sangat besar tetapi tetap saja memiliki kelemahan dan ancaman yang harus diwaspadai. Praktek-praktek pemanfaatan digital pada pelayanan publik seperti pendidikan, pelayanan tender (government procrument) selama ini belum terbebas dari praktek koruptif, bias diskrimintif dan sistem pengamanan data yang belum memadai,” ujar Olisias.