HOLOPIS.COM, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) akan malaporkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada hari ini, Rabu (22/5), dimana salah satu yang ditunggu-tunggu dari hasil RDG BI tersebut yakni keputusan terkait tingkat suku bunga acuan atau BI Rate.
Terkait hal itu, Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky memprediksi BI akan menahan suku bunga acuannya di angka 6,26 persen.
Dia menjelaskan, bahwa prediksi itu mungkin saja terjadi karena perekonomian Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang lebih baik, setelah beberapa bulan mengalami tekanan besar yang berdampak pada harga barang dan nilai tukar.
“Setelah BI menaikkan suku bunga bulan lalu, tampaknya tidak ada urgensi untuk mengubah suku bunga kebijakan pada RDG BI. Kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,25% pada Mei 2024,” dalam keterangannya seperti dikutip Holopis.com, Rabu (22/5).
Dia mengatakan dengan berakhirnya El Nino, tekanan inflasi harga pangan telah mereda pada periode Idulfitri 2024 dibandingkan 3 tahun terakhir. Hal ini menjadi katalis positif untuk menjaga inflasi secara keseluruhan sesuai target BI sebesar 1,5% – 3,5%. Namun, potensi risiko inflasi masih terlihat dan harus dimitigasi dengan baik.
“Tekanan eksternal yang berkepanjangan telah melemahkan rupiah dalam beberapa minggu terakhir. Jika tren ini terus berlanjut, bisa berdampak negatif terhadap tingkat harga domestik melalui inflasi impor,” kata Riefky.
Pada saat yang sama, melemahnya ketidakpastian global mendorong arus modal masuk ke pasar keuangan domestik sehingga menstabilkan nilai tukar rupiah.
Arus modal masuk neto dalam beberapa minggu terakhir mendorong penguatan rupiah sebesar 1,4% (month to month) mencapai Rp 15.950 per dolar AS dari Rp 16.250 per dolar AS di 19 April lalu.
Secara year to date, rupiah hanya terdepresiasi sebesar 3,8%, cukup baik dibandingkan mata uang beberapa negara peers.
Namun, tekanan nilai tukar pada April lalu membuat cadangan devisa turun signifikan US$ 4,2 miliar, dari US$ 140,4 miliar pada Maret ke US$ 136,2 miliar akibat pembayaran utang luar negeri pemerintah dan intervensi rupiah.