HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kota Bogor mendapatkan penghargaan dan menjadi kota dengan kepemimpinan toleransi terbaik berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) yang diadakan oleh SETARA Institute,
Dari seluruh kota yang ada di Indonesia, terpilihlah kota Bogor sebagai peraih penghargaan dengan Kota Dengan Kepemimpinan Toleransi Terbaik di Indonesia. Kemudian penghargaan itu diberikan dalam bentuk plakat dan sertifikat oleh Ketua badan pengurus SETARA Institute Ismail Hasani kepada Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Proses penyerahan penghargaan ini dilakukan di Candi Singasari Ballroom, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Jl. Jenderal Sudirman Nomor 86, Jakarta, Selasa (30/1) kemarin.
Selanjutnya, Walikota Bogor menyampaikan victory speech kepada audience yang terdiri dari kepala-kepala daerah dan pejabat SETARA Institute dengan memberikan ucapan demi ucapan mewakili kota Bogor di acara IKT tersebut.
“Tidak ada Lembaga yang begitu spesial bagi warga kota bogor selain SETARA Institute,” kata Bima Arya mengawali sambutannya yang disambut tepuk tangan hadirin seperti dikutip Holopis.com.
Pada perhelatan tersebut, Bima Arya tidak memperbolehkan audience untuk bertepuk tangan terlebih dahulu, hal itu karena kota Bogor pernah dinobatkan oleh SETARA Institute menjadi kota yang paling intoleran di Indonesia.
Jangan dulu tepuk tangan pak, kenapa? Karena tahun 2015 SETARA Institute menobatkan kota kami, kota yang sangat kami cintai, sebagai kota paling intoleran di Indonesia,” ucapnya.
Berkat cap kota Bogor sebagai kota yang paling intoleran dari STARA Institute tahun 2015 tersebut, telah membuat pemerintah dan masyarakat di sana gundah dan galau.
“Saat itu tidak ada yang tidak gundah dan galau dengan predikat itu, karena kami merasa bahwa DNA kota kami itu adalah DNA kota yang cinta atas kebersamaan dalam keberagaman,” tuturnya.
Namun, itu tidak membuat pemerintah dan masyarakat kota Bogor menjadi putus asa atas labeling yang diberikan tersebut. Hal itu karena pasti ada penilaian yang benar atas data yang ada. Sehingga, Bima Arya pun sadar bahwa banyak yang perlu untuk dibenahi terhadap kotanya itu.
“Tapi tentu teman-teman SETARA ada data, teman-teman SETARA ada argumentasi, kami sadar bahwa banyak yang perlu kami benahi,” ucapnya.
“Beda zaman Prabu Siliwangi yang katanya pluralis inklusif, zaman masa lalu yang penuh dengan keemasan ketika kita berada dalam kebersamaan dan keberagaman, mungkin betul sudah berlalu, mungkin kami saat itu hidup dalam satu masa di mana terjadi politisasi agama dan lain sebagainya,” sambung Bima Arya.