HOLOPIS.COM, JAKARTA – KPK mengungkap bahwa pengusaha Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo atau Rudy Tanoe dipastikan memang memiliki keterkaitan dengan penanganan kasus korupsi kasus bansos beras pada Kementerian Sosial (Kemensos)
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, Rudy Tanoe dicecar soal jatah distribusi bansos di PT Dosni Roha Logistik, dimana jabatannya disitu diketahui sebagai Komisaris.
“Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (Komisaris PT Dosni Roha Logistik atau PT DRL), saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya kerja sama antara perusahaan saksi dengan PT BGR untuk mendapatkan jatah distribusi bansos,” kata Ali Fikri dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Jumat (15/12).
Ali Fikri pun sebelumnya pun menegaskan, peran Rudy Tanoe yang merupakan kakak dari Ketua Umum Partai Perindo tersebut berkaitan dengan perkara korupsi bansos yang tengah ditangani penyidik KPK.
“Semua yang dipanggil sebagai saksi karena ada kebutuhan pendalaman lebih lanjut substansi perkara, tetapi lagi-lagi bahwa kami tidak bisa menyampaikan materi perkara kepada publik,” kata Ali Fikri beberapa waktu lalu.
Dalam kasus tersebut KPK telah menahan enam orang tersangka, yakni Dirut PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) Persero periode 2018-2021 M Kuncoro Wibowo (MKW), mantan Direktur Komersial PT BGR Persero Budi Susanto (BS), dan mantan Vice President Operasional PT BGR Persero April Churniawan (AC).
Kemudian, Direktur Utama Mitra Energi Persada/Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada tahun 2020 Ivo Wongkaren (IW), Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada Roni Ramdhani (RR), dan General Manager PT Trimalayan Teknologi Persada Richard Cahyanto (RR).
Diketahui, dugaan rasuah ini bermula ketika Kemensos memilih PT BGR yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang jasa logistik sebagai distributor bantuan sosial beras (BSB) untuk menyalurkan bansos kepada keluarga penerima manfaat dalam rangka penanganan dampak Covid 19 dengan nilai kontrak Rp 326 Miliar.
Atas sepengetahuan Kuncoro Wibowo dan Budi, April Churniawan secara sepihak menunjuk PT PTP milik Richard Cahyanto. KPK menduga penunjukkan tersebut tanpa didahului dengan proses seleksi untuk menggantikan PT DIB Persero yang belum memiliki dokumen legalitas jelas terkait pendirian perusahaannya.
PT PTP lantas membuat satu konsorsium sebagai formalitas dan tidak pernah sama sekali melakukan kegiatan distribusi bantuan sosial berupa beras. Hal tersebut atas ide Ivo Wongkaren, Roni Ramdani dan Richard Cahyanto.
Nah, pada periode September sampai Desember 2020, Roni Ramdani menagih pembayaran uang muka dan uang termin jasa pekerjaan konsultan ke PT BGR. Atas tagihan itu, kemudian PT BGR membayar Rp 151 miliar yang dikirimkan ke rekening bank atas nama PT PTP. Pada periode Oktober 2020 sampai Januari 2021, terdapat penarikan uang sebesar Rp 125 miliar dari rekening PT PTP yang penggunaannya tidak terkait sama sekali dengan distribusi bansos.
Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata sebelumnya memastikan jika penyidik KPK mendalami pembayaran uang Rp 151 miliar dan penarikan uang Rp 125 miliar yang diduga tak bisa dipertanggungjawabkan itu dalam proses penyidikan.
“Itu dipenyidikan, artinya kan begini kontrak BGR 300 sekian, kemudian BGR kerjasama dengan PT PTP, ternyata PT PTP itu kan ngga kerja tapi dapat duit 150 miliar sekian, bisa jadi biaya distribusi itu sebenernya ngga sampai 300 sekian, 150 berapa kalau tidak salah,” ungkap Alex, sapaan Alexander Marwata.
Alex pun tak membantah atau mengamini adanya dugaan penggelembungan (mark up) harga pada paket pengerjaan distribusi bansos beras tersebut. Alex juga memastikan dugaan tersebut juga bakal didalami penyidik dalam proses penyidikan.
Terlebih dalam kasus ini, KPK mengungkap terjadi kerugian negara hingga Rp 127,5 miliar. Adapun Ivo, Richard, dan Roni diduga mendapat keuntungan Rp 18,8 miliar atas dugaan korupsi tersebut.