Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Analis politik dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, fanatisme berlebihan dalam mendukung partai politik (parpol) maupun calon pemimpin nasional dan pemimpin daerah dalam pemilihan umum (pemilu) 2024, berpotensi menimbulkan radikalisme yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

“Fanatisme berlebihan dalam pemilu dapat menimbulkan potensi radikalisme yang bisa membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Jangan ada lagi istilah cebong dan kampret serta istilah yang merendahkan derajat manusia,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Selamat Ginting di Jakarta kepada Holopis.com, Selasa (22/8).

Menurutnya, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan kepada kelompok yang berbeda pandangan. Termasuk pandangan atau pilihan politik.

“Jika ada kelompok yang memaksakan kehendak perubahan sosial politik secara drastis, karena merasa partai politik pilihannya maupun calon pemimpin nasional atau daerah yang diusungnya harus menang dengan cara kekerasan dalam pemilu, artinya kelompok itu melakukan radikalisme,” ujarnya.

Jangan sampai, kata dia, para pendukung parpol maupun pendukung calon pemimpin nasional atau daerah menggunakan kekerasan kepada orang atau kelompok yang berbeda. Termasuk kekerasan melalui bullying (tindakan agresif yang dilakukan berulang) di media sosial dengan kalimat yang tidak etis seperti: kadal gurun (kadrun) maupun babi cina (bacin).

Radikalisme, lanjut Ginting, merupakan perilaku yang menghendaki perubahan drastis dengan mengabaikan aturan hukum dan bertujuan merealisasikan target-target tertentu. Termasuk mengubah situasi sosial politik tertentu dengan cara yang menyalahi ketentuan yang disepakati suatu bangsa dan negara.

Sisi Kemanusiaan

Dikemukakan, munculnya radikalisme di Indonesia setidaknya disebabkan tiga faktor mendasar. Pertama, perkembangan di tingkat global. Yang mana, kelompok-kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror.

Kedua, munculnya paham-paham konservatif yang gemar membuat batas kelompok yang sempit. Di luar kelompok mereka disebut kafir, musuh, dan wajib diperangi. Ketiga, faktor kemiskinan dapat menimbulkan perasaan termarjinalkan, sehingga menjadi persemaian subur bagi radikalisme dan terorisme.

Selamat Ginting mengharapkan dalam pencegahan radikalisme, pemerintah perlu mengedepankan sisi kemanusiaan atau menggunakan pendekatan humanis.

“Perlu pendekatan soft approach dalam melaksanakan deradikalisasi untuk memutus akar ideologi radikalisme agar dapat mewujudkan kehidupan yang damai dan harmoni,” terang Ginting.

Program yang bisa dilakukan, lanjut Ginting, seperti aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk memutus akar penyebab ideologi radikalisme yang dapat berujung menjadi terorisme. Misalnya dengan merangkul keluarga dan anak-anak mantan pelaku teror serta menyekolahkan anak anak tersebut di sekolah-sekolah moderat.