HOLOPIS.COM, JAKARTA – SETARA Institute menyebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengerti pesan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007. Dalam putusan tersebut, menyatakan penentuan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bukan wewenang DPR.

“Tetapi kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, yang tanpa menunggu keputusan DPR, Kejaksaan Agung memulai suatu proses penyidikan,” kata Ketua SETARA Institute Hendardi, Senin (22/8).

Ia mengatakan, DPR hanya berwenang dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM kepada Presiden, sehingga tidak ada penghalang penyelesaian hukum kasus ini.

“Jalan penyelesaian yudisial sebenarnya tidak ada kebuntuan, kalau Jokowi bisa mendisiplinkan Jaksa Agung untuk melanjutkan tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM,” lanjutnya.

Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya, Kejaksaan Agung selalu berdalih menunggu keputusan DPR setiap disinggung kasus ini.

“Faktanya, Jaksa Agung selalu berlindung, menunggu adanya keputusan DPR,” ucapnya.

Hendardi menyampaikan, bahwa pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bisa disegerakan, jika Presiden Jokowi mampu mengkondisikan jajaran dan partai pendukungnya.

“Pembentukan UU KKR, semestinya pula bisa diakselerasi, jika Jokowi mampu mendisiplinkan jajaran pemerintahannya plus partai-partai pendukungnya,” jelasnya.

Ia juga membandingkan lamanya pembahasan RUU KRR dengan UU Minerba, UU KPK, dan Omnibus Law yang berlangsung kilat.

“Merevisi UU Minerba, UU KPK, bahkan membahas UU Cipta Kerja, Jokowi dan jajarannya bisa melakukan dengan begitu cepat. Mengapa untuk KKR Jokowi terus menunda?,” jelasnya.