JAKARTA – Tunjangan Hari Raya atau THR merupakan komponen penting dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia, terutama menjelang perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri atau Lebaran.
Sejarah pemberian THR di Indonesia memiliki perjalanan panjang yang mencerminkan perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan pekerja.
Awal Mula Pemberian THR
Pada tahun 1951 di masa Kabinet Soekiman Wirjosandjojo, pemerintah memperkenalkan kebijakan pemberian tunjangan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kala itu, tunjangan diberikan kepada para PNS dalam bentuk uang tunai sebesar Rp125 hingga Rp200, serta tambahan bahan pangan berupa beras.
Kemudian pada tahun 1954, Menteri Perburuhan S.M. Abidin mengusulkan agar perusahaan swasta juga memberikan tunjangan serupa kepada karyawannya.
Usulan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja swasta, sehingga mereka dapat merayakan hari raya dengan lebih layak.
Seiring berjalannya waktu, pemberian THR menjadi praktik umum di berbagai sektor. Pemerintah kemudian menetapkan peraturan yang mewajibkan pemberian THR kepada seluruh pekerja, baik di sektor publik maupun swasta.
Regulasi ini memastikan bahwa setiap pekerja berhak menerima THR sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi mereka sepanjang tahun.
Makna dan Tradisi THR
THR tidak hanya berfungsi sebagai tambahan penghasilan, tetapi juga memiliki makna sosial dan budaya yang mendalam, dimana THR memungkinkan pekerja untuk memenuhi kebutuhan saat perayaan hari besar, mempererat hubungan sosial, dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Tradisi ini telah menjadi bagian integral dari budaya Indonesia, mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan dalam merayakan hari raya.
Dengan demikian, THR memiliki sejarah panjang yang menunjukkan komitmen pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam menjaga kesejahteraan pekerja, serta memperkuat nilai-nilai sosial budaya dalam perayaan hari raya.