HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, R Haidar Alwi merespons positif soal langkah Presiden Prabowo Subianto yang telah memerintahkan jajarannya untuk menyusun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai solusi atas polemik Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.
Menurutnya, sikap Presiden tersebut justru memberikan legitimasi bagi Perpol Nomor 10 Tahun 2025 yang telah diterbitkan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo tersebut, serta menegasikan anggapan bahwa Perpol tersebut bertentangan dengan putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
“Hal itu menegaskan pilihan negara untuk memperkuat legitimasi kebijakan Polri sekaligus menjaga kewibawaan institusi kepolisian di tengah tekanan pencabutan atau pembatalan yang disuarakan Komite Reformasi Polri (KRP),” kata Haidar Alwi, Minggu (21/12/2025).
Secara ketatanegaraan, Presiden sejatinya memiliki kewenangan untuk membatalkan atau menegasikan Perpol melalui Peraturan Presiden (Perpres). Jalur ini bahkan secara terbuka didorong oleh KRP, yang menginginkan pembatalan Perpol 10/2025 dengan dalih bertentangan dengan konstitusi atau pembangkangan terhadap konstitusi.
Namun, Presiden Prabowo tidak memilih opsi tersebut. Pilihan ini bukan kebetulan, melainkan cerminan sikap sadar konstitusi dan kehati-hatian dalam mengelola hubungan antar lembaga negara.
“Dengan tidak diterbitkannya Perpres Pembatalan, Presiden mengirimkan sinyal tegas bahwa Perpol 10/2025 tidak dianggap sebagai produk yang tidak kostitusional seperti tuduhan KRP,” ujar Haidar Alwi.
Sebaliknya, substansi kebijakan Polri dianggap sah, relevan, dan tetap berada dalam koridor kewenangan institusional. Yang dilakukan Presiden justru menaikkan tingkat legitimasi pengaturan melalui PP, sebuah instrumen hukum yang secara hierarkis lebih kuat dan memiliki daya ikat lintas sektor.
Langkah ini penting untuk menjaga wibawa Polri sebagai institusi negara. Dalam negara hukum, pembatalan kebijakan internal lembaga penegak hukum melalui tekanan opini publik akan menciptakan keadaan berbahaya.
“Pembatalan atau pencabutan dapat menurunkan otoritas institusional Polri dan membuka ruang delegitimasi berulang terhadap kebijakan-kebijakan strategis lainnya. Presiden tampak memahami bahwa menjaga kehormatan institusi kepolisian adalah bagian dari menjaga stabilitas negara,” tutur Haidar Alwi.
Menurutnya, PP yang dibentuk merupakan penguatan kebijakan negara atas Polri. Dengan PP, arah kebijakan yang diatur dalam Perpol 10/2025 memperoleh legitimasi yang lebih luas, tidak lagi semata-mata sebagai aturan internal kepolisian, tetapi sebagai kebijakan pemerintahan yang berdiri di atas persetujuan dan tanggung jawab Presiden sebagai kepala pemerintahan.
“Ini sekaligus menutup ruang tafsir delegitimasi yang selama ini dimanfaatkan untuk membangun polemik,” ungkap Haidar Alwi.
Di sisi lain, keputusan ini menempatkan desakan KRP pada posisi yang lemah. Dorongan Pembatalan Perpol melalui Perpres tidak mendapat tempat dalam kebijakan Presiden. Kritik yang dibangun dengan narasi tidak konstitusional atau pembangkangan terhadap konstitusi justru berakhir pada konsolidasi kebijakan Polri di tingkat regulasi yang lebih tinggi.
“Dalam konteks ini, KRP gagal mengubah arah kebijakan negara dan harus menerima kenyataan bahwa pendekatan konfrontatif terhadap institusi justru kontraproduktif,” ucap Haidar Alwi.
Lebih jauh lagi, sikap Presiden Prabowo menunjukkan bahwa memperbaiki institusi negara tidak selalu harus dilakukan dengan membatalkan kebijakan yang sudah ada. Reformasi yang sehat dilaksanakan melalui penguatan tata kelola, kepastian hukum, dan konsistensi kewenangan.
“Dengan memilih PP alih-alih Perpres Pembatalan, Presiden menjaga keseimbangan antara reformasi, stabilitas, dan kewibawaan alat negara,” tegas Haidar Alwi.
Jadi, penyusunan PP untuk memperkuat legitimasi Perpol Nomor 10 Tahun 2025 menegaskan posisi negara yang berdiri di belakang Polri. Presiden menunjukkan bahwa kewenangan memang dapat digunakan untuk membatalkan, namun kepemimpinan negara yang matang justru terlihat dari keberanian untuk melindungi institusi, memperkuat dasar hukumnya, dan memastikan kebijakan berjalan dalam kerangka hukum yang kokoh.
“Ini bukan sekadar pilihan regulasi, melainkan pernyataan politik hukum tentang bagaimana negara menjaga wibawa dan otoritas institusinya,” pungkasnya.
Sekadar diketahui Sobat Holopis, bhawa Presiden Prabowo Subianto disebut telah menyetujui rencana pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) baru dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Prof Yusril Ihza Mahendra, usai Rapat Koordinasi Tingkat Menteri dan Kepala Lembaga dengan Tim Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Dalam kesempatan tersebut, Yusril mengatakan, pembentukan PP tersebut ditargetkan rampung pada Januari 2026 mendatang.
“Untuk mencari solusi menyelesaikan persoalan ini, maka dengan persetujuan dari Bapak Presiden, itu akan dirumuskan dalam bentuk satu Peraturan Pemerintah. Mudah-mudahan bisa selesai akhir bulan Januari paling lambat sudah keluar,” kata Yusril di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12/2025).
Dalam rapat tersebut, Yusril mengungkapkan, ada dua aturan yang dibahas, yakni Pasal 28 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Pasal 19 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Dua pasal ini dibahas untuk disinkronkan dalam PP yang akan diterbitkan nantinya.
“Dalam Pasal 19 UU ASN itu disebutkan jabatan ASN pada prinsipnya diisi oleh ASN, tapi dapat diisi prajurit TNI dan anggota Polri untuk jabatan tertentu yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah,” ujar Yusril.
Dia mengakui, sejauh ini belum ada aturan yang melaksanakan putusan MK tersebut. Namun belakangan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.
Terbitnya Perpol tersebut belakangan menjadi polemik karena dianggap membangkang dari putusan MK. Dalam Perpol itu, polisi aktif tetap diizinkan untuk menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
“Kalau Peraturan Kapolri tentu scope-nya terbatas internal Kapolri. Tapi ini karena menyangkut kementerian dan lembaga, dan melaksanakan ketentuan dalam UU ASN dan UU Kepolisian, maka harus diatur dengan bentuk PP,” jelasnya.



