HOLOPIS.COM, JAKARTA – Wacana koalisi permanen kembali mencuat diusulkan Partai Golkar lewat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I. Partai Golkar mendorong koalisi permanen sebagai ikhtiar kerja sama politik yang mengikat parlemen dan pemerintahan.
Pengamat komunikasi politik Jamiluddin Ritonga mengkritisi wacana koalisi permanen tak sejalan dengan demokrasi. Menurut dia, jika koalisi permanen dibentuk dari dua atau tiga partai politik di Tanah Air tidak terlalu merisaukan.
“Sebab, dengan dua atau tiga partai yang koalisi permanen check and balances masih dapat dilaksanakan,” kata Jamil kepada Holopis.com, Minggu, (21/12/2025).
Dia bilang jika dengan kondisi itu, parlemen DPR yang berperan sebagai pengawas tak menjadi mati suri. Sebab, parlemen masih bisa melakukan pengawasan dari parpol yang tak berada di koalisi permanen.
“Parlemen tidak sekadar menjadi lembaga stempel, sehingga denyut demokrasi masih terasa,” tutur dosen Universitas Esa Unggul itu.
Namun, ia menyebut berbeda dengan koalisi permanen yang dilakukan oleh mayoritas partai di parlemen. Bagi dia, jika koalisi permanen dilakukan mayoritas partai di parlemen akan berdampak negatif terhadap demokrasi.
“Hal ini akan membuat demokrasi lumpuh total. Sebab, semua partai di parlemen akan benar-benar menjadi pelayan presiden,” jelas eks Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.
Dia khawatir jika koalisi permanen dibentuk dengan hampir seluruh parpol maka tak ada pengawasan yang sesungguhnya.
“Parlemen akan semakin jauh dari konstituennya. Parlemen bukan lagi mengabdi ke rakyat, tapi justru mengabdi ke eksekutif,” ujar Jamil.
Menurut Jamil, ide koalisi permanen harus ditolak. “Sebab, ide itu tak sejalan dengan konstitusi dan reformasi yang mengamanahkan demokrasi di semua bidang kehidupan,” ujar Jamil.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menjelaskan alasan partai yang dipimpinnya mendorong koalisi permanen. Usulan koalisi permanen itu disuarakan Golkar melalui rapimnas.
Menurut dia, koalisi permanen juga untuk memastikan setiap kebijakan strategis pemerintah mendapat dukungan politik yang stabil. Selain itu, bisa percepat proses pengambilan keputusan.
Kemudian, bisa menjaga kesinambungan pembangunan nasional dalam jangka panjang.
“Stabilitas politik merupakan prasyarat utama bagi pembangunan berkelanjutan,” kata Bahlil dalam keterangannya, dikutip pada Minggu, (21/12/2025).
Bahlil menambahkan koalisi permanen juga sebagai transformasi pola kerja sama politik dari sekadar koalisi elektoral yang bersifat taktis menuju pembentukan koalisi yang ideologis dan strategis. Menurut dia, hal itu dengan berbasis pada kesamaan platform dan agenda kebijakan.
“Koalisi Permanen ini tidak hanya dibangun untuk memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden,” jelas Bahlil.



