HOLOPIS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Kurniasih Mufidayati, menegaskan bahwa penanganan pendidikan pasca bencana banjir di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara tidak boleh hanya berfokus pada perbaikan infrastruktur sekolah. Pemerintah diminta memprioritaskan pemulihan psikososial bagi siswa dan guru yang terdampak.
Hal tersebut disampaikan Kurniasih menyusul rilis data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang mencatat sebanyak 1.009 sekolah terdampak banjir di tiga provinsi tersebut. Rinciannya, 310 sekolah berada di Aceh, 385 di Sumatera Utara, dan 314 di Sumatera Barat.
“Kerusakan sekolah tidak hanya meruntuhkan ruang belajar, tetapi juga mengguncang rasa aman anak-anak. Kita harus ingat bahwa mereka baru saja melewati pengalaman traumatis terjebak banjir, kehilangan barang, bahkan harus mengungsi,” ujar Kurniasih seperti yang dikutip Holopis.com dalam keterangan pers Fraksi PKS DPR RI, Senin (8/12/2025).
Menurutnya, dampak bencana tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga berpengaruh besar terhadap kondisi mental peserta didik dan tenaga pendidik. Laporan lapangan dari sejumlah lembaga kemanusiaan menunjukkan banyak anak di pengungsian mengalami stres, mudah menangis, takut berpisah dari orang tua, sulit tidur, hingga kehilangan konsentrasi belajar.
“Pembelajaran di posko pengungsian tidak boleh disamakan dengan pembelajaran reguler. Fasilitas boleh sederhana, tapi pendekatannya harus ramah psikologis. Anak butuh aktivitas pemulihan, bukan tekanan,” tegasnya.
Kurniasih mendorong pemerintah daerah untuk melibatkan konselor sekolah, psikolog, relawan layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial (MHPSS), serta tenaga pendidik dalam pelaksanaan trauma healing, kelas kreatif, kegiatan seni, dan permainan terstruktur bagi anak-anak korban banjir.
Ia juga menyoroti kondisi para guru yang turut menjadi korban bencana. Sejumlah guru di daerah terdampak seperti Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Pasaman, Padang Pariaman, dan Deli Serdang dilaporkan kehilangan rumah, kendaraan, dokumen pribadi, hingga perlengkapan mengajar. Bahkan, sebagian masih mengajar dari tenda darurat sambil tinggal di pengungsian.
“Guru juga mengalami trauma. Ada guru yang kehilangan rumah dan asetnya, tapi tetap mengajar anak-anak di pengungsian. Stres mereka berat dan kita tidak boleh mengabaikan kondisi mereka,” kata Kurniasih.
Ia menekankan bahwa guru membutuhkan pendampingan mental, bukan semata bantuan logistik. Komisi X DPR RI pun meminta Kemendikdasmen dan pemerintah daerah menyediakan layanan dukungan psikososial khusus bagi guru dan siswa, memberikan insentif tambahan untuk guru terdampak, serta menghadirkan ruang aman bagi pemulihan emosional tenaga pendidik.
Menurut Kurniasih, pemulihan psikososial merupakan elemen penting dalam penanganan darurat sektor pendidikan pascabencana.
“Anak yang trauma tidak siap belajar. Guru yang lelah secara emosional tidak siap mengajar. Maka pemulihan psikososial harus menjadi pilar utama pemulihan pendidikan pascabencana,” ujarnya.
Selain itu, ia meminta agar data jumlah siswa dan guru yang membutuhkan layanan psikososial disampaikan secara terbuka agar bantuan dari lembaga kemanusiaan dan tenaga psikolog dapat disalurkan secara cepat dan tepat sasaran.



