HOLOPIS.COM, JAKARTA – Hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ketiganya dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap secara bersama-sama terkait putusan lepas terkait tiga korporasi dalam perkara ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya pada periode Januari-April 2022.
Vonis tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Efendi dalam persidangan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3/12/2025). Adapun tiga terdakwa korporasi yang diputus lepas itu yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Djuyamto terbukti menerima suap sejumlah Rp 9.211.864.000; Agam Syarief serta Ali Muhtarom masing-masing menerima Rp 6.403.780.000. Menurut majelis hakim, perbuatan menerima suap itu terbukti melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 11 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata hakim Efendi saat membacakan amar putusan, seperti dikutip Holopis.com.
Selain hukuman badan, Djuyamto juga dijatuhi pidana tambahan membayar uang pengganti senilai Rp 9,21 miliar subsider 4 tahun penjara. Sedangkan Agam dan Ali Muhtarom dihukum pidana tambahan membayar uang pengganti senilai Rp 6,4 miliar subsider 4 tahun penjara.
Dalam menjatuhkan hukuman, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan meringankan. Untuk hal memberatkan, perbuatan Djuyamto dkk menerima suap perkara itu karena keserakahan. Selain itu, perbuatan Djuyamto dkk telah mencoreng nama baik lembaga yudikatif, serta tidak mendukung program pemerintah mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Adapun hal meringankan, terdakwa Djuyamto dkk dan memiliki tanggungan keluarga.
“Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi ini bukan karena kebutuhan atau corruption by need, tapi karena keserakahan atau corruption by greed. Perbuatan terdakwa telah mencoreng nama baik lembaga yudikatif sebagai benteng terakhir pencari keadilan di Republik Indonesia ini, padahal pimpinan Mahkamah Agung sudah berulang kali mengingatkan warga pengadilan untuk berperilaku bersih,” tegas hakim.
Hukuman terhadap Djuyamto dkk lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya jaksa meminta Djuyamto dkk dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Atas vonis itu, Djuyamto dkk menyatakan pikir-pikir untuk menerima atau mengajukan banding. Sikap yang sama juga disampaikan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam merespon vonis tersebut.
“Setelah kami berkoordinasi dengan penasihat hukum, kami akan menggunakan hak kami untuk pikir-pikir selama tujuh hari,” tutur Djuyamto.
Djuyamto, Agam, Ali sebelumnya didakwa menerima suap secara bersama-sama terkait vonis lepas terdakwa korporasi migor dan dan gratifikasi. Menurut jaksa, total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar.
Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
Dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Diduga uang suap itu diberikan oleh Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei. Saat itu mereka merupakan pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.



