RUU KUHAP Segera Dibawa ke Paripurna DPR, Sinyal Kuat Bakal Disahkan
HOLOPIS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI menyetujui Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU)tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk dibawa ke tingkat II atau rapat paripurna. Komisi III DPR mencapai kesepakatan dalam rapat pleno RUU KUHAP pada Kamis, (13/11/2025).
Rapat pleno itu dipimpin langsung Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman. Perwakilan pemerintah turut hadir dalam rapat itu.
"Kami minta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah. Apakah naskah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bisa dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II yaitu pengambilan keputusan atas RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR RI terdekat, setuju?," kata Habiburokhman.
Seluruh peserta rapat menjawab serentak setuju. Lalu, Habiburokhman mengetuk palu sebagai kesepakatan.
Keputusan itu diambil karena delapan fraksi di Komisi III DPR sudah menyampaikan pandangannya. Mereka tak ada masalah dan setuju untuk RUU dibahas dan segera disahkan di forum paripurna.
Adapun dari perwakilan pemerintah hadir Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto, dan Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif.
Habiburokhman menyampaikan pentingnya RUU KUHAP untuk menghadapi sejumlah tantangan sistem peradilan pidana yang sudah berjalan. Dia menyinggung soal transparansi, akuntabilitas serta perlindungan hak-hak tersangka korban, saksi, disabilitas, perempuan dan anak.
Lebih lanjut, dia menambahkan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga turut mempengaruhi dalam penegakan hukum. Maka itu, menurut dia, setiap pasal dalam RUU mesti merespons kebutuhan secara cermat dengan mengedepankan prinsip keadilan.
Adapun beberapa substansi perubahan dalam RUU KUHAP antara lain:
1. Penyesuaian hukum acara pidana, dan dengan memperhatikan perkembangan hukum nasional dan internasional.
2. Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.
3. Penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem penilaian pidana yaitu pembagian peran yang proposional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat dan pemimpin kemasyarakatan untuk menjadi profesionalitas dan akuntabilitas.
4. Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antar lembaga guna meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.
5. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa korban, saksi termasuk hak atas bantuan hukum pendampingan advokat, hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak serta perlindungan terhadap ancaman intimidasi atau kekerasan dalam setiap tahap penegakan hukum.
6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral dalam sistem peradilan pidana mencakup kewajiban pendampingan advokat terhadap tersangka dan atau terdakwa dalam setiap tahap pemeriksaan. Penegasan kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi pihak tertentu dan perlindungan terhadap advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya.
7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana luar pengadilan yang dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.
8. Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.
9. Perbaikan pengaturan tentang upaya paksa untuk menjamin penerapan prinsip perlindungan HAM dan due proces of law. Termasuk pembatasan waktu syarat penetapan dan mekanisme kontrol yudisial melalui izin pengadilan atas tindakan aparat penegak hukum.
10. Pengenalan mekanisme hukum baru dalam hukum acara pidana antara lain pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman dan perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku tindak pidana korporasi.
11. Pengaturan prinsip pertanggungjawaban atas tindak pidana korporasi.
12. Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak dan lanjut usia diperkuat dengan kewajiban aparat untuk melakukan asesmen kebutuhan khusus, serta menyediakan sarana dan prasaran pemeriksaan yang ramah dan aksesibel.