HOLOPIS.COM, JAKARTA – Saat bulan Ramadan, berbuka puasa dengan makanan yang lezat menjadi kebiasaan umat Muslim. Dari minuman penyegar dahaga hingga makanan utama, berbagai hidangan menggugah selera disantap untuk mengembalikan energi setelah seharian berpuasa.
Makanan manis, pedas, atau gurih sering kali menjadi pilihan favorit. Namun, bagaimana hukumnya jika setelah berbuka puasa, seseorang segera melaksanakan shalat tetapi masih merasakan sisa rasa makanan di lidahnya? Apakah hal tersebut dapat membatalkan shalat?
Batasan yang Menentukan Sah atau Tidaknya Shalat
Dalam ilmu fikih, shalat seseorang menjadi batal jika ada benda (‘ain) yang masuk ke dalam salah satu lubang yang berpangkal pada organ dalam tubuh, seperti mulut, hidung, dan telinga. Jika suatu benda melewati batas awal dari lubang-lubang ini, maka shalat menjadi tidak sah.
Lubang jauf ini terdapat batas awal yang mana ketika benda melewati batas ini maka shalat seseorang menjadi batal, namun ketika belum melewati batas ini maka shalatnya tidak batal.
Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut dengan muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata; dalam telinga batas awalnya adalah bagian dalam yang sekiranya tidak telihat oleh mata; sedangkan dalam mulut, batas awalnya adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan hulqum.
Apakah Sisa Rasa Pedas di Lidah Membatalkan Shalat?
Jika sisa rasa pedas di lidah hanya berupa bekas tanpa ada zat kebendaan (‘ain) yang tertinggal, maka hal tersebut tidak membatalkan shalat. Ini karena yang tersisa hanyalah efek rasa, bukan sesuatu yang memiliki wujud nyata.
Namun, jika ada zat kebendaan seperti potongan cabai yang terselip di dalam mulut, maka shalat menjadi batal jika potongan tersebut tertelan hingga melewati tenggorokan. Jika potongan cabai hanya menetap di mulut tanpa ditelan, maka shalat tetap sah karena tidak melewati batas awal jauf dalam mulut.
Bagaimana Jika Air Liur Ikut Terpengaruh Rasa Makanan?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait air liur yang berubah rasa akibat makanan yang baru dikonsumsi.
Pendapat pertama menyatakan bahwa menelan air liur yang berubah rasa dapat membatalkan shalat. Alasannya, perubahan rasa menunjukkan adanya zat kebendaan yang bercampur dengan air liur.
Sementara pendapat kedua menyebutkan bahwa menelannya tidak membatalkan shalat, karena perubahan rasa tersebut hanya disebabkan oleh efek sampingan dari makanan, bukan karena zat kebendaan yang benar-benar bercampur dengan air liur.
Pendapat kedua ini lebih dikuatkan oleh para ulama, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Manhaj.
أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلا أَثَرَ لَهُ لانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ وَلَيْسَ مِثْلُ ذَلِكَ الأَثَرُ الْبَاقِي بَعْدَ الْقَهْوَةِ مِمَّا يُغَيِّرُ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ فَيَضُرُّ ابْتِلَاعُهُ لأَنَّ تَغَيُّرَ لَوْنِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِهِ عَيْنًا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ بِعَدَمِ الضَّرَرِ لأَنَّ مُجَرَّدَ اللَّوْنِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اكْتَسَبَهُ الرِّيقُ مِنْ مُجَاوَرَتِهِ لِلأَسْوَدِ مَثَلا وَهَذَا هُوَ الأَقْرَبُ أُخِذَ مِمَّا قَالُوهُ فِي طَهَارَةِ الْمَاءِ إذَا تَغَيَّرَ بِمُجَاوِرٍ اهـ
Artinya: “Rasa yang tersisa dari bekas makanan tidak membatalkan shalat, sebab tidak adanya zat kebendaan (‘ain) pada organ dalam seseorang yang sedang shalat. Dan tidak sama dengan hal tersebut yaitu bekas yang tersisa setelah meminum kopi berupa sesuatu yang dapat mengubah warna air liur atau mengubah rasa dari air liur, maka menelan air liur ini dapat membahayakan shalat (membatalkan shalat) , sebab perubahan warna air liur menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat zat kebendaan.
Hukum ini tidak hanya berlaku untuk rasa pedas, tetapi juga rasa lain seperti manis, asam, atau gurih yang tertinggal setelah makan. Jika hanya sekadar bekas rasa tanpa zat kebendaan, maka tidak membatalkan shalat. Namun, jika ada zat makanan yang tersisa dan tertelan, maka shalat menjadi batal.



