JAKARTA – Aktivis Muda Banten, Achmad Fanani Rosyidi menilai bahwa politik dinasti di Banten tidak boleh terjadi lagi. Menurutnya, politik dinasti adalah langkah mundur sebuah daerah dalam melakukan pembangunan.
Hal ini seperti yang pernah dirasakan oleh pria yang karib disapa Awe tersebut ketika masih aktif sebagai aktivis Mahasiswa dan pergerakan di Tangerang Selatan.
Banyak gerakan masyarakat sipil sulit melakukan kontrol pembangunan kepada pemerintah gegara harus dihadapkan dengan sesama masyarakat sipil lainnya yang cenderung hanya pro pada pemerintah.
“Saya melihat karena waktu itu tekanan di Banten ketika saya masih aktif di aktivis mahasiswa itu, Banten adalah momok yang paling menakutkan itu jawara,” kata Fanani dalam podcast Tribunrakyat bertema “Politik Dinasti di Pilkada Banten: Ancaman bagi Demokrasi dan Potensi Kecurangan”, Jumat (22/11).
Turut hadir narsum lainnya Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas, dan Founder Nusa Ina Connection Abdullah Kelrey.
Bahkan ketika dirinya bersama dengan masyarakat NGO lain melakukan pendampingan terhadap masyarakat sipil yang berhadapan dengan pemerintah daerah, mereka akan dihadapkan dengan preman dan jawara yang selama ini berkoalisi dengan pemerintah yang sekadar untuk merawat kekuasaan mereka.
Dari upaya pendampingan tersebut, mereka kerap dihadapkan dengan organisasi lain yang melakukan penghadangan dan kontra. Bahkan ia menyatakan ada praktik pembuangan limbah oleh sebuah pabrik kepada kelompok ormas tertentu untuk dibuang ke tempat sembarangan.
“Sekitar tahun 2008-2015, saat saya masih jadi mahasiswa dan melakukan pendampingan. Jadi kalau ditanya soal Banten, saya agak merinding. Karena ingat saat melakukan pembasisan mendampingi kawan-kawan organisasi masyarakat sipil di sana, mereka ketakutan karena takut didatangi jawara,” ujarnya.
Situasi buruk semacam itu bahkan kata Awe, sudah menjadi rahasia umum. Bahkan lebih parahnya, situasi buruk akhirnya dianggap biasa oleh masyarakat karena keengganannya untuk melawan kekuasaan.
“Akhirnya hal-hal yang seharusnya (dinilai) jahat itu dianggap biasa oleh masyarakat di Banten itu,” sambungnya.
Di tambah lagi soal ketimpangan sosial dan ekonomi di Banten saat era pemerintahan dinasti politik keluarga Atut saat itu. Awe mengaku sangat miris, bagaimana ketimbangan antar daerah satu dengan yang lainnya di satu provinsi tersebut memiliki gap yang sangat besar.
“Sampai di daerah Lebak, kita masih bisa temukan masyarakat anak-anak yang masih buta huruf. Saya sampai merinding bicara soal itu,” tuturnya.