Holopis.com “UU Cipta Kerja menjadi sumber dari lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada petani dan produsen pangan skala kecil lainnya. Hal ini bisa kita lihat dari Konversi lahan pangan ke non-pangan atas nama Pembangunan hingga Proyek Strategis Nasional (PSN); pembentukan Bank Tanah yang memperparah konflik agraria; sampai Pelepasan Kawasan Hutan untuk proyek Food Estate yang sampai saat ini tidak jelas capaiannya,” paparnya.

Ketiga, ketergantungan akan impor pangan yang semakin menguat di Indonesia. menurut Henry, hal ini dipengaruhi oleh tidak seriusnya pembenahan sektor pertanian Indonesia.

“Ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor semakin kentara beberapa tahun terakhir. Data BPS mencatat baghwa pangan strategis seperti beras, kedelai, jagung, gula, daging sapi, bawang putih, bahkan garam, itu Indonesia impor dari negara lain. Bahkan untuk kedelai, itu 90 persen kebutuhan nasional kita dipenuhi dari impor,” tambah Henry.

Kehadiran UU Cipta Kerja juga dinilai membawa pengaruh terciptanya kondisi ini.

“Hal yang paling parah dari ini semua adalah bagaimana UU Cipta Kerja mengubah substansi dari UU Pangan di Indonesia. Akibatnya, impor menjadi semakin gampang dilakukan dan jelas merugikan petani kita. Sebagai contoh dalam komoditas beras, pada tahun 2023 kita mencatatkan angka impor beras terbesar dalam 5 tahun terakhir. Padahal seharusnya kita berfokus pada perbaikan produksi dalam negeri, namun UU Cipta Kerja justru mengubah fokus tersebut sehingga impor menjadi opsi yang dipilih pemerintah.” paparnya.

Keempat, ketidak stabilan harga pangan di Indonesia. Masih lemahnya mekanisme pengaturan harga pangan oleh pemerintah, mengakibatkan harga pangan strategis seperti minyak goreng sawit, dan beras mengalami fluktuasi harga yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Kelima, privatisasi, liberalisasi, dan korporatisasi pangan. kebijakan pemerintah tentang food estate sebagai upaya meningkatkan produksi pangan di Indonesia dilihat sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap korporasi. Berbagai proyek food estate di wilayah-wilayah Indonesia terbukti belum berhasil mengatasi permasalahan pangan yang ada, dan sebaliknya justru menimbulkan masalah baru: konflik dengan petani maupun masyarakat adat di Lokasi proyek hingga isu lingkungan.

Terakhir, SPI menyebut transformasi pertanian ke agroekologi di Indonesia masih belum dipandang serius oleh pemerintah Indonesia.

“Diperlukan suatu transformasi model pertanian, dari pertanian yang bergantung dari pupuk kimia dan pestisida atau dinamakan pertanian konvensional sekarang ini, ke pertanian yang agroekologis. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berkomitmen dalam hal pertanian agroekologis, khususnya untuk transisi dair penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik. Namun lagi-lagi, karena lemahnya komitmen politik, hal ini seakan menguap dan tidak ada kelanjutannya,” papar Henry.

Dari banyaknya permasalahan terkait pangan di atas, Henry menyebut bahwa hal ini masih bisa dapat diperbaiki jika pemerintah konsekuen menjalankan Kedaulatan Pangan.

“Apabila ketahanan pangan terus dijalankan, maka hal ini akan semakin memperparah persoalan pangan di Indonesia. Dalam konsep ketahanan pangan, kuatnya pengaruh korporasi dalam memproduksi pangan justru membuat rakyat banyak tidak mampu menjangkau pangan,” tukasnya.

“Oleh karenanya, SPI mendesak pemerintah untuk menjalankan Kedaulatan Pangan. selama ini Kedaulatan Pangan tidak pernah sungguh-sungguh dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Meski sudah diatur dalam UU pangan, namun hal ini belum dijalankan secara konsekuen. Padahal kalau kita kaji, prinsip kedaulatan pangan ini selaras dengan semangat konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945,” tambahnya.

Henry menyebut terdapat 6 langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat sektor pangan.

“SPI dalam refleksi Hari Pangan Sedunia tahun 2024 ini memandang ada 6 langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah: 1) menjalankan Reforma Agraria dan penyelesaian konflik agraria berdasarkan konstitusi UUD 1945, UUPA 1960, dan TAP MPR-RI No. IX tahun 2001 sebagai prasyarat kedaulatan pangan,” kata Henry.