HOLOPIS.COM, JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan dugaan korupsi di Mahkamah Agung (MA) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (2/10). Dugaan yang dilaporkan terkait pemotongan honorarium Hakim Agung mencapai Rp 90 miliar di lingkungan MA.
“Kami melaporkan dugaan tindak pidana korupsi pemotongan honor penanganan perkara yang menjadi hak Hakim Agung berdasarkan PP 82/2021, Hakim Agung berhak mendapatkan honor penanganan perkara yang bisa diputus dalam 90 hari,” ungkap Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso usai pelaporan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, seperti dikutip Holopis.com.
Menurut Sugeng, para Hakim Agung pada kenyataannya hanya mendapatkan sekitar 60 persen dari haknya. Sementara sisanya, 14,05 persen diberikan kepada panitera perkara, panitera muda kamar, hingga staf. Sedangkan 25,95 persen sisanya tidak jelas peruntukannya.
“Peristiwa dugaan korupsi yang bernilai puluhan miliar yang diduga dilakukan para petinggi Mahkamah Agung ini ini paradoks dengan penderitaan yang dialami oleh hakim di seluruh daerah yang pekan depan bakal melakukan mogok kerja” ucap Sugeng.
Dalam pelaporannya, kata Sugeng, pihaknya telah menyerahkan sejumlah temuan terkait dugaan rasuah itu ke KPK. Baik IPW dan TPDI mendesak KPK untuk menidaklanjuti dan mengusutnya.
“Itu kami dapatkan buktinya melalui surat internal dari internal Mahkamah Agung, kami sudah serahkan kepada KPK. Kami minta hal ini didalami. Apakah dalam pemotongan ini ada dugaan tindak pidana korupsi,” ujar Sugeng.
Selain itu, sambung Sugeng, pihaknya juga telah menyebutkan nama-nama yang diduga sebagai pelaku. Namun, sambung Sugeng, saat ini belum dapat diungkapkan ke publik.
“Dalam pelaporan kita kami menyampaikan informasi, ada, tapi kami tidak bisa sampaikan kepada media, karena itu sifatnya kewenangan KPK,” imbuh Sugeng.
Disisi lain Sugeng juga menyoroti soal pengakuan Jurubicara MA yang menyatakan bahwa pemotongan tersebut berdasarkan kesepakatan para Hakim Agung. Sugeng menilai, honor dapat dikurangi atas kesukarelaan dan pasti jumlahnya berbeda-beda setiap Hakim Agung.
“Kalau kita memberikan sesuatu kepada pihak lain itu kan sebagai sedekah ya, ini kan terserah kita. Kalau ini rata-rata, 25,95 persen ya. Apakah di sana ada unsur penggunaan kewenangan dari pejabat yang berwenang meminta sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dan juga bertentangan dengan peraturan, silakan KPK mendalami,” ucap dia.
Dikatakan Sugeng, pihaknya mencatat pemotongan honor Hakim Agung itu selama 2 tahun terakhir ini mencapai Rp 90 miliar. “Kalau kami hitung kasar, hitungan kasar dua tahun ya, itu sekitar Rp 90 miliaran ya total keseluruhan pemotongan,” tutur Sugeng.
Sementara itu, Koordinator TPDI, Petrus Selestinus dalam kesempatan yang sama menyebut konstruksi dugaan rasuah Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tak jauh berbeda dengan dugaan perkara korupsi pemotongan dana hasil insentif pajak untuk pegawai Kabuoaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab itu, tegas Petrus, KPK harus segera mengusut dugaan rasuah tersebut.
“Judicial corruption yang terjadi bukan lantaran kebutuhan melainkan dikualifikasi corruption by greed atau korupsi karena keserakahan. Sehingga KPK harus segera mengusut kasus ini” tegas Petrus.