HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan pendapatan negara dari cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun 2025 mendatang sebesar Rp 3,8 triliun.
Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu, Aflah Farobi mengatakan, angka tersebut turun dari target yang ditetapkan tahun ini, yakni sebesar Rp 4,38 triliun.
“Cukai MBDK tahun ini Rp 4,3 triliun dan di tahun depan 2025 dicantumkan Rp 3,8 triliun,” kata dia dalam keterangannya, Rabu (26/9) seperti dikutip Holopis.com.
Aflah menjelaskan, penurunan target penerimaan negara dari cukai MBDK telah melalui pengkajian dan pembahasan bersama dengan DPR.
“Itu kemarin kami telah diskusi dengan DPR dan melihat bahwa untuk penerapan cukai MBDK ini tentunya harus dikaji sesuai perkembangan ekonomi,” katanya.
Terkait tarif cukai MBDK, dia mengatakan masih dalam pembahasan. Ada usulan tarif sebesar 2,5 persen, namun kata dia, usulan tersebut masih akan dikaji lebih lanjut.
“Tarif 2,5 persen masuk ke kajian kita, jadi belum kita putuskan. Ini pengaruh nantinya bagaimana policy pemerintah baru. Jadi mengenai tarif dan apa yang akan dikenakan masih intensif dikaji,” imbuhnya.
Tidak cuma terkait cukai MBDK, Aflah menuturkan, bahwa pihaknya juga tengah mengkaji perubahan tarif cukai hasil tembakau (CHT).
“Mengenai cukai hasil tembakau, HJE (Harga Jual Eceran)-nya juga sedang masih dikaji apakah akan berpengaruh kepada pengendalian konsumsi dan penerimaan seberapa besar,” katanya.
Penyesuaian tersebut dilakukan mengingat kini tengah terjadi fenomena downtrading pada produk rokok, yaitu beralihnya preferensi konsumen ke produk-produk yang lebih murah.
Selain fenomena tersebut, ia menuturkan bahwa pihaknya juga mempertimbangkan empat hal lain sebelum memutuskan perubahan tarif CHT tersebut, seperti kondisi industri dan petani tembakau.
Kemudian faktor kesehatan dan pengendalian konsumsi produk hasil tembakau juga menjadi pertimbangan pihaknya. Adapula faktor penerimaan dan juga peredaran rokok ilegal yang semakin marak.
“Jadi, untuk empat hal ini tentunya kita cari di mana titik optimumnya, termasuk bagaimana pengaruh terhadap penerimaan dan pengendalian konsumennya saat ini masih kami kaji bersama,” tandas Aflah.