HOLOPIS.COM, JAKARTA – Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid menilai bahwa penangkapan AAR oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri malah menunjukkan betapa gagalnya BNPT melakukan pembinaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Hal ini karena melihat dari background tersangka terorisme itu yang beberapa kali ditangkap dan ditetapkan sebagai residivis kasus serupa, yakni terorisme.

“Katanya tersangka ini residivis, pernah ditangkap dan ini yang ke 3 kalinya. Artinya, ada kemungkinan besar BNPT gagal melakukan pembinaan sehingga ditangkap lagi oleh Densus,” kata Habib Syakur kepada Holopis.com, Senin (17/6).

Menurutnya, BNPT adalah lembaga yang bertugas untuk melakukan pembinaan terhadap para pelaku terorisme dan eks narapidana kasus terorisme. Mereka akan digembleng agar bisa kembali merangkul NKRI dan memiliki rasa nasionalisme hingga toleran.

Namun ketika jika memang faktanya AAR melakukan rencana tindak pidana terorisme, maka jelas menurut Habib Syakur, BNPT sebagai lembaga sudah gagal dalam menjalankan tugas.

“Maka ini BNPT patut dievaluasi menyeluruh bagaimana mereka melakukan kinerjanya. Serta bagaimana kepemimpinan Rycko Amelza di lembaga yang seharusnya melakukan penanggulangan terorisme ini,” ujarnya.

Di sisi lain, ada aspek yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Yakni tentang adanya dugaan operasi khusus di balik penangkapan AAR di Karawang, Jawa Barat pada hari Sabtu, 15 Juni 2024 tersebut.

“Atau jangan-jangan itu bagian dari operasi propaganda untuk menutupi sebuah kasus tertentu. Misalnya kasus penguntitan di Kejaksaan Agung beberapa waktu yang lalu. Artinya, Densus tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan polemik itu,” tandasnya.

Apalagi kata dia, kasus penguntitan itu tidak jelas penyelesaiannya seperti apa. Siapa yang memberikan perintah penguntitan hingga satu orang anggota Densus 88 ditangkap, yakni Brigadir Polisi Iqbal Mustafa oleh intelijen Kejaksaan Agung.

Bahkan sampai dengan saat ini kata Habib Syakur, Kepolisian melalui Divisi Humas Mabes Polri pun tidak bersedia membuka proses penanganan kasus penguntitan itu.

“Tak ada penangkapan, tiba-tiba ada penangkapan, dan yang ditangkap residivis. Sebelumnya ada kasus penguntitan Jampidsus. Lantas, bagaimana mungkin tidak boleh dikait-kaitkan, kan terlalu kentara,” tandasnya.

Oleh sebab itu, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo diminta untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap dua pimpinan lembaga penanggulangan dan penindakan kasus terorisme, yakni Komjen Pol Muhammed Rycko Amelza Dahniel sebagai Kepala BNPT, dan juga Irjen Pol Sentot Prasetyo sebagai Kadensus 88 Antiteror.