Holopis.com Namun, pada malam kelabu 11 Mei 2024, hujan deras yang terus-menerus memicu bencana tak terduga. Galodo, sebuah banjir bandang lahar dingin yang mematikan, merenggut rumah Kartini dan memaksa keluarganya untuk mengungsi.

Saat Galado menerjang, Kartini dan keluarganya telah rampung makan dan salat, lalu menikmati waktu bersama di depan televisi sebelum mata terpejam. Mendadak gemuruh menggugah malam, memaksa Kartini menatap ke luar rumah.

“Ada guncangan sama gemuruh, Amak ngucap-ngucap aja, cuma badan tuh menggigil, ndak kuat lagi. Dibawa digendong anak dan Amak digendong anak, terus tiba di tempat itu perut Amak mual-mual. Terus sampai pagi ndak tidur lagi. Perasaan tuh ndak enak, perut juga ndak enak, takut. Udah ndak kuat lagi mau tengoknya,” terangnya.

“Lari ke atas, ke tempat kandang sapi. Pertama kali nyelamatin diri ke situ. Lantaran airnya tambah besar lari lagi ke atas, ada kandang sapi, nyelamatkan diri saja, nginep di kandang sapi,” sambung Kartini.

Kemudian, terdapat sekitar lima kepala keluarga yang berkumpul di sana. Kartini tetap terjaga hingga pagi hari tanpa sedikit pun tidur.

Dalam keadaan panik dan tak berdaya, Kartini menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang di sekitarnya tersapu arus deras, berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Pemandangan memilukan ini meninggalkan bekas mendalam di hati Kartini, mengingatkan betapa rapuhnya kehidupan di hadapan kekuatan alam yang tak terbendung.

Setelah banjir mulai surut, tepat pukul 10:00 WIB, barulah Kartini dan keluarganya menyeberang melewati Sungai Jambu. Sungai yang semula berjarak 10 meter dari rumahnya dengan lebar sekitar 4-5 meter, kini berubah menjadi lautan bebatuan besar, dan dipenuhi dengan lumpur (material vulkanik yang berasal dari gunung Marapi). Sebelumnya terdapat tiga jembatan menuju kampung sebelah, namun semuanya lenyap.

“Saudara yang di rumah atas meninggal, orang tuanya yang hilang masih saudara sepupuan. Makanya rumahnya dekat-dekat saja di situ. Mungkin tertidur waktu itu,” ungkap Kartini.

Trauma yang diderita oleh Kartini dan keluarganya masih terasa, terutama setiap kali hujan turun. Setiap tetes air yang jatuh mengingatkan mereka pada malam penuh ketakutan saat Galodo melanda.

“Masih trauma saja, masih ketakutan kalau hujan. (Karena) dibilang kata orang kan ada susulan, orang ngomong kan kalo ndak dipikir-pikirin, itu masuk kepikiran juga. Jadi masih ada rasa trauma,” pungkasnya.

Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian, Kartini berharap untuk memiliki rumah yang layak dan aman, namun terhambat oleh kekurangan tanah dan dana. Meskipun demikian, harapan Kartini tetap teguh, bahwa bencana semacam Galodo tidak akan terulang lagi.

Menjelang Iduladha, meski masih diambang ketidakpastian, ia hanya berharap bencana Galodo semacam ini hanya terjadi sekali dalam hidupnya.