HOLOPIS.COM, JAKARTA – Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Mahfud MD mengatakan bahwa saatnya seluruh bangsa Indonesia memahami untuk kembali menyucikan nilai hukum agar sesuai dengan ruh keperuntukannya.

“Jika manusia bisa beridul-fitri (kembali ke asal kesuciannya) maka hukum pun bisa diidul-fitrikan, yakni dikembalikan ke sukmanya yaitu keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran,” kata Mahfud MD dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Senin (29/4).

Dalam sebuah tulisan yang dirilis oleh koran nasional, Mahfud menuliskan bahwa sejatinya hukum adalah sebuah aturan kehidupan yang dijalankan bersama-sama yang ditetapkan secara resmi oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk melaksanakan hukum.

Bahkan dalam menerapkan nilai hukum, otoritas yang bertugas yakni aparat penegak hukum bisa melaksanakan dengan pemaksaan, dan seluruh pelanggar hukum bisa dikenakan sanksi sesuai dengan kaidah, norma dan aturan teks hukum yang ada.

“Norma-norma di dalam masyarakat yang bersumber akhlak, moral dan etika biasanya dikelompokkan menjadi empat norma, yakni ; norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum,” terang Mahfud.

Sayangnya kata Mahfud, saat ini ada kecenderungan hukum sudah mulai terlepas dari norma-norma dan sukmanya sebagai instrumen keadilan. Bahkan kecenderungan hukum sudah mulai melenceng dari tuntunan agama, moralitas dan etika yang ada.

“Ditengarai penegakan hukum kita terlepas dari sukmanya,” ujarnya.

Hal ini karena adanya industri hukum yang sering ia singgung, di mana hukum dijalankan atas sekadar kepentingan pihak yang berkuasa baik dalam aspek jabatan publik dan lain sebagainya.

“Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum,” tandasnya.

Oleh sebab itu, adanya pemberitaan tentang aparat penegak hukum baik dari unsur hakim, jaksa, polisi, pengacara, hingga pejabat pun dijerat dengan kasus pelanggaran hukum. Hal inilah bukti bahwa industri hukum masih berjalan.

“Sekarang ini banyak hukum dipandang hanya sebagai bunyi undang-undang yang produknya jauh dari sukma hukma hukum, yaitu ; keadilan, kemanusiaan dan kejujuran sebagai sukma hukum,” tutur Mahfud.

Bahkan kata dia, banyak para pelanggar hukum ini merasa tidak bersalah dengan perbuatannya, karena mungkin merasa tidak melanggar teks hukum. Padahal mereka sebenarnya sedang melanggar sukma hukum, yakni moralitas dan etika.

Oleh sebab itu, Mahfud menegaskan bahwa dibutuhkan jiwa kepemimpinan yang baik untuk mengembalikan hukum ke sukmanya. Yakni pemimpin yang nasionalis berjiwa merah dan putih, komitmen dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta bebas dari sandra hukum.

“Makanya, agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran demi kesejahteraan rakyat. Salah satu kuncinya adalah leadership,” ucapnya.