HOLOPIS.COM, JAKARTA – Puluhan massa aksi dari Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat menggelar mimbar rakyat yang diselenggarakan di kawasan Patung Kuda, Arjuna Wiwaha, Jalan Medan Merdeka Barat. Dalam aksinya, mereka melakukan pengawalan atas sidang gugatan PHPU yang diselenggarakan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hadir dalam kegiatan tersebut adalah mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua. Dalam orasinya, ia pun menuding bahwa Presiden Joko Widodo telah melakukan tindak pidana korupsi.
“Bahwa Presiden dan wakil presiden yang korupsi harus dibawa ke pengadilan, apakah bapak ibu menginginkan Jokowi diseret ke Pengadilan?,” kata Hehamahua dalam orasinya, Kamis (28/3) seperti dikutip Holopis.com.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo sudah kerap melakukan dugaan tindak pidana korupsi sejak menjabat sebagai Walikota Solo.
“Ketika (Jokowi -red) menjadi walikota korupsi pendidikan, ketika menjadi gubernur korupsi, ketika menjadi presiden korupsi dana bansos. Karena itu harus diseret ke pengadilan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Di sisi lain, Hehamahua juga menuding bahwa Jokowi adalah biang kerok maraknya praktik tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini juga terlihat dengan merosotnya indeks persepsi korupsi yang dicap kepada Indonesia.
“Sebelum Jokowi jadi presiden, indeks korupsi mencapai 42%. Ketika Jokowi 10 tahun menjadi presiden, indeks korupsi turun 10% menjadi 32 %. Maka jika korupsi mau diberantas tuntas, tidak ada cara lain, Jokowi harus diserat ke pengadilan korupsi,” tandasnya.
Bahkan ia mengancam akan menyeret kembali hakim MK ke dalam pusaran kasus korupsi jika tidak bisa mengadili sengketa Pemilu dengan benar. Apalagi ia mengklaim pernah menyeret salah satu hakim MK ke penjara karena tindak pidana korupsi.
“Sikap MK jika tidak menjalankan tugasnya, saya ingin ingatkan kepada anggota MK, saya dengan KPK pernah menangkap ketua MK, kalau MK tidak memperhatikan, maka hal itu bisa terjadi kembali,” tukasnya.
Lantas, Hehamahua yang juga mantan Ketua Umum PB HMI MPO tersebut mengingatkan agar majelis hakim MK bisa menangani dan memutus perkara sengketa Pilpres 2024 yang dinilainya terindikasi adanya praktik kecurangan, sehingga Prabowo Gibran bisa mendapatkan suara tertinggi.
“Jika hakim berlaku adil tempatnya adalah disurga, ketika hakim tidak adil tempat nya di akhirat,” tegas Hehamahua.
Lebih lanjut, ia juga mengajak masyarakat untuk semakin banyak lagi mengikuti aksi unjuk rasa untuk mengawal jalannya sidang gugatan perkara PHPU di MK. Ia pun menargetkan massa aksi yang hadir hari minimal 1 juta orang.
“Sampai tanggal 22 MK harus memutuskan, kita harus ikut serta untuk meramaikan sampai 1 juta dan 2 juta dan sampai MK memutuskan,” serunya.
Aksi unjuk rasa tersebut dihadiri sejumlah tokoh, mulai dari Din Syamsuddin, Sunarti, Daeng Wahidin, Arif Munandar hingga Muhammad Said Didu. Mereka melakukan aksi damai sejak pukul 08.30 – 12.27 WIB.