“Mengingatkan Presiden Jokowi, dan semua pejabat negara, aparat hukum dan aktor politik yang berada di kabinet presiden untuk tetap berada pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial serta rasa nyaman dalam berdemokrasi,” tulis poin petisi yang dibacakan Triyatni.
Di hari yang sama, Ketua Dewan Guru Besar UI, Prof Harkristuti Harkrisnowo juga melakukan hal serupa. Ia memboyong sejumlah guru besar Universitas Indonesia untuk melakukan hal yang sama.
Dengan memakai toga kebesaran guru besar, bekas Direktur Jenderal (Dirjen) HAM di Kementerian Hukum dan HAM tersebut, ia membacakan petisi dengan judul ; Seruan Kebangsaan Kampus Perjuangan “Genderang UI Bertalu Kembali” pada hari Jumat (2/2), atau bertepatan dengan Dies Natalis UI ke-74.
Dalam statemennya, Prof Tuti meminta agar seluruh ASN dan TNI Polri untuk tetap netral dalam kontestasi Pemilu 2024.
“Menuntut agar semua ASN, pejabat pemerintah, TNI dan Polri dibebaskan dari paksaan untuk memenangkan salah satu paslon,” ucap Tuti.
Sikap Kampus
Namun, apa yang dilakukan oleh sejumlah guru besar itu dinafikkan oleh pihak kampus. Salah satunya adalah Unhas. Rektor Prof Jamaluddin Jompa menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh sivitas akademikanya itu sama sekali bukan sikap resmi kampus.
“Adanya flyer yang mengatasnamakan Guru Besar dan Dosen Unhas untuk mengajak menyampaikan keprihatinan ‘Menyelamatkan Demokrasi’, tidak mewakili Unhas sebagai institusi,” kata Prof Jamaluddin, Jumat (2/2).
Hal serupa juga disampaikan oleh Sekretaris UGM, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu. Ia menegaskan bahwa apa yang dibacakan oleh sejumlah guru besar dan dosennya terkait petisi tersebut bukan sikap resmi dari rektor atau Universitas.
“Ditanya apakah secara kelembagaan, yang bisa saya jawab secara formal itu belum dibahas kelembagaan,” akata Andi.
Respons Istana
Adanya gelombang pembacaan petisi di sejumlah kampus secara bergantian ini pun sempat mendapatkan respons dari Istana Negara. Melalui koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, ia menilai apa yang disampaikan oleh sejumlah Guru Besar tersebut dianggap sebagai vitamin bagi pemerintah.
“Apalagi kita bicara kritik. Kritik bisa diibaratkan sebagai vitamin untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Dan sisi kita menghargai perbedaan pendapat,” kata Ari di kompleks Kementerian Sekretariat Negara Jakarta, Jumat (2/2).
Namun demikian, ia menilai bahwa apa yang terjadi merupakan gerakan yang wajar di momentum politik praktis seperti saat ini. Bahkan ia juga menyinggung bahwa pola-pola tersebut ada kalangan sebagai gerakan partisan.
“Kita cermati di tahun politik, jelang pemilu pasti munculkan sebuah pertarungan opini, penggiringan opini. Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang juga wajar aja. Apalagi kaitannya dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral,” tukasnya.