HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pada pagelaran Pilpres Tahun ini, mungkin banyak pemilih yang menggunakan psikologisnya untuk memilih dibanding dari pertimbangan logis. Pengamat Politik sekaligus Akademisi Universitas Paramadina, Sunano mengatakan masyarakat lebih memilih akan mencoblos atas dasar siapa yang terdzalimi dan pemimpin yang tertekan.
Sunano juga memberikan pendapat bahwa masyarakat Indonesia saat ini lebih mengedepankan emosinya dulu dibandingkan dengan pertimbangan logis.
“Karena hari ini, ini terkait dengan psikologis masyarakat Indonesia, mereka lebih mengedepankan empati, mengedepankan emosi itu lebih didahulukan, dibanding persoalan yang logis gitu,” tutur Nano dalam podcast Ruang Tamu Holopis Channel, dikutip Rabu (24/1).
Jadi menurut Nano banyak kecenderungan masyarakat khususnya di timur, lebih mempertimbangkan emosionalnya daripada mempertimbangkan logikanya, jadi mereka hanya melihat yang mana menurut mereka lebih banyak terdzalimi dan ditekan.
“Ini orang-orang timur begitu, jadi mereka ketika berbicara sesuatu pertimbangannya emosional, tidak pertimbangan logis gitu, maka ketika ada orang yang menurut mereka lihat itu banyak terzolimi atau lain sebagainya atau ditekan, mereka cenderung bersimpati,” imbuhnya.
Nano juga memberikan contoh, bahwa politik seperti ini terjadi ketika pada saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengikuti Pilpres tahun 2004 yang memframing dirinya sebagai orang yang didzalimi oleh Megawati Soekarnoputri, di mana Megawati saat itu merupakan Calon Presiden petahana.
“Ini kayak dulu kasus SBY ya waktu itu, dia mampu memframing dirinya sebagai orang yang terzolimi oleh bu Mega, kemudian malah naik posisinya,” sambungnya.
Kemudian, Nano menuturkan bahwa memang kecenderungan pemilih saat ini dalam politik dipengaruhi oleh peran psikologis. Sehingga siapa pun yang mampu memainkan psikologi, maka mereka dapat mempengaruhi pemilih saat ini.
“Sehingga ini juga ada suatu kecenderungan juga dari sisi bagaimana peran psikologis mempengaruhi pemilih, selain itu juga dipengaruhi oleh pertarungan psikologis,” tuturnya.