HOLOPIS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengisyaratkan bakal menempuh upaya banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo.

Isyarat itu menyusul adanya beberapa point pertimbangan yang tidak mengakomodir tuntutan Tim Jaksa KPK.

Isyarat itu diungkapkan jaksa KPK, Wawan Yunarwanto usai sidang putusan terdakwa Rafel Alun, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/1). Tak hanya sejumlah perbuatan rasuah yang tak masuk dalam pertimbangan majelis hakim, sejumlah aset yang diduga hasil rasuah Rafel Alun juga tak diputuskan hakim dirampas untuk negara.

“Ya seperti itu (akan banding). Karena kan memang beberapa hal tidak dilakukan pertimbangan oleh hakim. Ya banyak hal tadi, termasuk perbuatan yang tidak dibuktikan,” kata jaksa Wawan, seperti dikutip Holopis.com.

“Banyak aset dikembalikan. Kemudian banyak pertimbangan-pertimbangan cara melakukan tindak pidana yang tidak diungkap dalam pertimbangan putusan,” ditambahkan Wawan.

Diketahui, Rafael Alun sebelumnya didakwa dan dituntut atas dugaan penerimaan gratifikasi yang dianggap suap sebesar Rp 16,6 miliar terkait perpajakan bersama-sama istri Ernie Meike Torondek. Selain itu, Rafael juga didakwa dan dituntut atas perbuatan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam periode 2003-2010.

Adapun penerimaan gratifikasi tersebut melalui PT Artha Mega Ekadhana (ARME), PT Cubes Consulting, PT Cahaya Kalbar dan PT Krisna Bali International Cargo. Ernie merupakan komisaris dan pemegang saham PT ARME, PT Cubes Consulting dan PT Bukit Hijau Asri. Adik Rafael, Gangsar Sulaksono, juga menjadi pemegang saham di PT Cubes Consulting.

“Satu, TPK nya. Kita dakwakan tiga kan dari Cubes, ARME, Cahaya Kalbar sama Mahendra. Tapi yang Cubes kemudian Cahaya Kalbar dan Mahendra tidak terbukti. Kemudian banyak sekali pertimbangan mengenai cara melakukan pidana. Cara bagaimana Alun kemudian menyembunyikan asetnya dengan menggunakan nama ibunya. Kemudian menggunakan mas berkilo kilo. Itu kan ngga diungkap di pertimbangan hakim,” ujar Wawan.

Dalam dakwaan jaksa, Rafael Alun disebut
menerima gratifikasi sebesar Rp 6 miliar dari PT Cahaya Kalbar. Perusahaan itu merupakan anak usaha Wilmar Group.
Menurut jaksa penerimaan itu terjadi sekitar Juli 2010. Lokasinya di Gedung ABDA, Jalan Jenderal Sudirman, Kavling 58, Senayan, Jakarta Selatan.

Dana dan penyamaran itu dilakukan oleh Direktur Operasional dan Keuangan PT Cahaya Kalbar Jinnawati. Jaksa meyakini gratifikasi itu berkaitan dengan Wilmar Group.

Dalam analisa yuridis tuntutan Rafael Alun, jaksa mencantumkan sejumlah perbuatan rasuah Rafael Alun sesuai dengan fakta yang terungkap selama persidangan. Termasuk soal dugaan pemberian uang Rp 6 miliar dari PT Cahaya Kalbar melalui modus jual beli rumah di Perumahan Taman Kebon Jeruk, Blok G1, Kav 112, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat.

Berdasarkan fakta sidang, Rafael awalnya menjual aset itu kepada Direktur Operasional dan Keuangan PT Cahaya Kalbar, Jinnawati. Dalam kesaksiannya, Jinnawati mengaku membeli lahan itu pada tahun 2010 seharga Rp 6 miliar.

Aset itu kemudian dijual oleh Jinawati kepada Thio Ida pada tahun 2015 dengan harga Rp 6 miliar. Jaksa meyakini transaksi senilai Rp 6 miliar itu bukan nilai yang wajar. Mengingat Thio Ida yang membeli tanah tersebut, tetapi 5 tahun sesudahnya masih dengan harga yang sama Rp 6 miliar.

Namun, dalam putusan Rafel hal itu tak diungkap majelis hakim. Padahal, kata Wawan, jaksa meyakini adanya perbuatan tindak pidana berbalut jual beli aset tersebut.

“Cara dia membeli itu kan tidak diungkap oleh hakim, menggunakan emas. Itu mas berkilo kilo kan logikanya bagaimana kan kita membawanya segala macam dan itu kan tidak diungkap. Sebenarnya itu kan menjadi salah satu alasan kita kenapa muncurigai itu ada tindak pidana terkait dengan pembelian rumah tersebut. Kemudian dibeli tahun 2010 dijual tahun 2015 dengan harga yang sama. Logikanyakan harusnya naik kan. Tapi kan harganya tetap sama Rp 6 miliar. Itu kan menjadi salah satu indikasi kita pada kecurigaan terkait dengan jual beli tersebut,” ungkap Wawan.

Jaksa KPK kecewa atas sejumlah perbuatan Rafael yang tidak diungkap dalam pertimbangan putusan. Atas dasar itu, jaksa KPK segera mempelajari dan mengkaji putusan majelis hakim terhadap terdakwa Rafel sebelum nantinya diputuskan untuk upaya banding.

“Ini yang kemudian menjadi dasar kita akan mengkaji lagi putusan tersebut. Itu kita masih akan mengkaji lagi,” tegas Wawan.

Jika nanti banding, KPK berharap putusan akhir hingga perkara Rafel berkekuatan hukum tetap menguatkan bukti dan fakta seperti yang dituangkan dalam dakwaan dan tuntutan. Tak menutup kemungkinan perkara dugaan rasuah itu dikembangkan lembaga antikorupsi jika harapan itu dikabulkan dan kekuatan hukum tetap.

“Makanya dasar kita kan putusan. Kalau memang putusannya inkrah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menutup kemungkinan untuk dikenbangkan lagi. Mkanya kita kan mengejar putusan ini. Kita kejar putusan sesuai apa yang kita tuntut,” tandas Wawan.

Diketahui, Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman atau vonis 14 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 10 miliar.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rafael Alun Trisambodo tersebut di atas dengan pidana penjara selama 14 tahun serta denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan. Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Rafael Alun Trisambodo untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 10.079.095.519,” ucap Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suparman Nyompa saat membacakan amar putusan, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (8/1).

Menurut majelis hakim, mantan Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kantor Wilayah (Kanwil) Jakarta Selatan itu terbukti bersalah melakukan gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU), sebagaimana dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perbuatan Rafael Alun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Kemudian, Pasal 3 Ayat 1 huruf a dan c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Lalu, Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

“Sebagaimana dakwaan kesatu, kedua, dan ketiga,” kata hakim.

Sebelumnya, Rafael dituntut oleh jaksa KPK dengan hukuman penjara 14 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair enam bulan kurungan dalam perkara ini. Jaksa juga menuntut Rafael dengan pidana tambahan yakni membayar uang pengganti senilai Rp 18,994.806.137.