HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, menilai Cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin tidak konsisten setelah mengusung tagline perubahan bersama pasangannya Anies Baswedan.

Meutya mengatakan, Cak Imin sebenarnya paham dengan anggaran pertahanan. Karena, ia pernah menjabat sebagai pimpinan DPR.

“Saya yakin Cak Imin paham. Cak Imin menjabat ketum partai saja hampir 10 tahun. Beliau juga anggota DPR sejak tahun 1999, pernah pimpinan DPR, pernah menteri pula,” kata Meutya Hafid kepada wartawan, Rabu (3/1) seperti dikutip Holopis.com.

“Jadi saya yakin beliau paham, apalagi Cak Imin juga adalah anggota Komisi I yang membidangi luar negeri-geopolitik dan pertahanan termasuk ikut memberi persetujuan terhadap postur anggaran pertahanan,” sambungnya.

Kritik Cak Imin atas pembelian alat perang atau alutsista dengan utang, dinilai bukan karena tidak paham. Tetapi, lebih ditujukan kepada Menhan (Menteri Pertahanan) Prabowo Subianto yang jadi rivalnya dalam Pilpres 2024.

“Saya menilai pernyataan beliau bukan karena tidak paham namun memiliki intensi lain terhadap Menhan yang saat ini menjadi calon presiden. Cak Imin tahu persis kita membutuhkan alutsista,” jelasnya.

Oleh sebab itu, kritikan Cak Imin dinilai sebagai bentuk sikap tidak konsisten Cak Imin yang paham soal isu pertahanan. Meutya menilai hal tersebut, karena pilihan politik Cak Imin pada Pilpres 2024.

“Mungkin ini salah satu bentuk inkonsistensi Cak Imin sejak pilpres, setelah inkonsistensi terhadap IKN. Mungkin ini adalah jalan politik yang harus ditempuh Cak Imin setelah mengusung perubahan di Pilpres 2024. Masyarakat bisa menilai sendiri,” pungkasnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Cak Imin sempat melontarkan kritik dimana negara yang lebih memilih berutang untuk membeli alat perang ketimbang alat pertanian.

Hal tersebut disampaikan ketua umum PKB, di depan kelompok petani di Soreang, Kabupaten Bandung, Rabu 3 Januari 2024.

“Kita nggak perang, kenapa kebanyakan utang beli alat perang? Lebih baik utang untuk beli alat pertanian. Buat apa kita utang ratusan triliun tapi tidak untuk sesuatu yang nyatanya tak dibutuhkan? Nyatanya kita butuh pangan,”